Kamis, 12 November 2015

MULA SHADRA


MULLA SADRA (1571- 1640 M)

1. Sekilas Mulla Sadra dan Pemikirannya

Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep -konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Sadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang beliau sebut Hikmah Muta'aliyah.

Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut. Disamping itu, aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin -doktrin agama tersebut.

Mulla Shadra mempunyai nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syirazi. Beliau lahir pada tahun 1571 M di Syiraz, sebuah kota yang saat itu dikenal sebagai pusat studi filsafat dan disiplin ilmu -ilmu Islam tradisional lainnya. Ayahnya seorang gubernur di Provinsi Fars.

Pendidikan dasarnya dijalani di kotanya, dalam bidang al Qur‟an, Hadits, Bahasa Arab, dan Bahasa Persia. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Isfahan. Di sana, ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh -tokoh terkemuka saat itu, yaitu Baha‟ al Din al Amili, Mir Damad (Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi).

Baha‟ al Din al Amili adalah seorang saintis, ahli hukum (faqih), teolog, arsitek, dan pujangga. Darinya, Mulla Shadra mendapatkan studi-studi yang komprehensif tentang pandangan-pandangan Syi‟ah mengenai fiqh, ilmu hadits, serta berkenalan dengan tafsir al Qur‟an. Hal inilah yang disinyalir membedakan Mulla Shadra dengan para filosof Islam Abad Pertengahan sebelumnya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya sebatas dasar -dasarnya.

Dalam periode yang sama, Mulla Shadra mulai mengkaji apa yang lazim dikenal sebagai ilmu -ilmu intelektual (al ulum al aqliyyah) dibawah bimbingan salah seorang filosof Islam paling besar dan orisinil, Mir Damad. Ia dikenal sebagai “Guru Ketiga” setelah Aristoteles dan al Farabi karena kapasitasnya sebagai seorang teolog, filosof, dan mistikus serta seorang pujangga. Beliau mengajar filsafat Ibn Sina dengan interpretasi isyraqiyyah (iluminatif). Karya yang merupakan masterpiece-nya adalah Qabasat, yang menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi, dan gnosis. Tokoh inilah yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mulla Shadra, yakni al Hikmah al Muta‟aliyyah.

Setelah periode formal studinya, Mulla Shadra uzlah dari masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih mengasingkan diri di desa kecil Kahak, dekat kota Qum. Periode ini menandai kesibukan Mulla Shadra yang kian meningkat dengan kehidupan kontemplatif dan juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar bagi kebanyakan karya utamanya.

Dalam uzlah ini, ia menghabiskan kira-kira tujuh tahun dalam praktek-praktek spiritual dan banyak berdzikir dengan teratur untuk mensucikan jiwanya. Dalam periode ini, ia juga melakukan introspeksi filosofis dengan merenungkan kembali persoalan-persoalan yang telah menjadi kontroversial, tentang Tuhan, wujud semesta dan lainnya. Ia melakukan penalaran yang mendalam serta “penyucian diri” sampai “mata hati”-nya terbuka, sehingga periode ini benar-benar melengkapi studi formalnya, dimana ia menyempurnakan program untuk melatih diri menjadi seorang filosof sejati ( versi Suhrawardi ). Singkatnya, selama periode inilah tercapai pengetahuan yang kemudian mengkristal dalam banyak karyanya.

Dengan demikian, masa kontemplasi Mulla Shadra ini kiranya memberikan gambaran betapa kuatnya sikap iluminasionisnya terhadap filsafat pada umumnya dan khususnya pandangan iluminasionis tentang keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialaminya, dimana ia kemudian menjelma menjadi ahli hikmah yang “tercerahkan”, yang mengalihkan persoalan-persoalan metafisika dari pemahaman yang bersifat intelektual menjadi visi langsung terhadap dunia spiritual dan membuktikan kesatuan tiga jalan utama pengetahuan dalam diri pribadinya. Tiga jalan ini, menurut Mulla Shadra, adalah wahyu (al wahy), demonstrasi atau inteleksi (al Burhan, al ta‟aqqul), dan visi spiritual atau “mistis”(al mukasyafah, al musyahadah).

Seiring dengan perjalanan waktu, Mulla Shadra terbentuk menjadi pemikir yang brilian dan menonjol, dimana ia dipandang memahami dengan sangat baik sekali warisan pemikiran keislaman, baik yang bercorak filosofis, keagamaan, maupun spiritual. Tradisi-tradisi filsafat Peripatetik Muslim (masya‟i) yang mencapai titik kematangannya pada Ibn Sina, Kalam, baik Syi‟ah maupun Sunni, filsafat atau theosofi iluminasi (isyraqi) dari Suhrawardi, serta tradisi sufi yang mencapai puncaknya pada Ibn Arabi, kesemuanya itu dikombinasikan dan diharmonisasikan olehnya secara sadar untuk tercapai suatu grand syntesis (sintesa besar). Bahkan, bukan hanya dari berbagai madzhab pemikran Islam saja, Mulla Shadra juga menyintesis berbagai jalan pengetahuan manusia.

Selama masa hidupnya, Mulla Shadra banyak sekali menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keagamaan (naqli) maupun ilmu-ilmu intelektual (aqli). Namun, karena Mulla Shadra memandang bahwa kedua ilmu itu berkaitan erat satu sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama, yaitu intelek ketuhanan , maka beliau selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam karya filosofisnya dan begitu pula sebaliknya.

Meski begitu luas ilmu yang dikuasai Mulla Shadra, namun apabila ditelaah secara mendalam, sebenarnya hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi fondasi bagi sistem pemikiran Mulla Shadra, yaitu pemikiran Ibn Sina, pemikiran iluminasi Suhrawardi, dan pemikiran Ibn Arabi. Jelasnya, sistem pemikiran Mulla Shadra dibangun diatas fondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi, dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan Ibn Arabi.

Berpijak dari sini, Mulla Shadra kemudian menghasilkan karya-karya yang cukup banyak, antara lain al Hikmah alMuta‟aliyah fi al Asfar al „Aqliyyah al Arba‟ah, al Mabda‟ wa al Ma‟ad, al Syawahid al Rububiyyah fi al Manahij al Sulukiyyah, Mafatih al Ghaib Kitab al Masy‟air, al Hikmah al „Arsyiyyah dan lain sebagainya.

2. Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra

Pemikiran Mulla Shadra, saat ini, menjadi fokus kajian filsafat tradisional di Iran, juga beberapa perguruan tinggi modern. Di Barat, kajian tentang Mulla Shadra juga sudah dimulai oleh Max Horten dengan bukunya Das Philosophische System von Schirazi, kemudian oleh Henri Corbin dengan bukunya La Livre des Penetration Metaphysiques. Hal demikian dapat dipahami sebab Mulla Shadra telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap filsafat, baik ulasannya atas karya Suhrawardi (Hikmah al Isyraq) dan Ibn Sina (al Syifa‟) ataupun karya-karya lainnya. Namun, dari sekian banyak karyanya, al Hikmah al Muta‟aliyah fi al Asfar al „Aqliyyah al Arba‟ah adalah karya terpenting dan terbesar dari Mulla Shadra. Bahkan bisa dikatakan sebagai puncak dari seluruh karya filosofis yang pernah ada. Dan dari judul buku ini pula, kemudian dikenal luas madzhab pemikiran Mulla Shadra, yaitu Hikmah Muta‟aliyah.

Ungkapan Hikmah Muta‟aliyah, terdiri atas dua istilah –al Hikmah (artinya teosofi) dan al Muta‟aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara epistemologis, hikmah muta‟aliyah ini berarti kebijaksanaan yang didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq), pembuktian rasional („aql atau istidlal), dan syari‟at. Dengan demikian, hikmah muta‟aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional. Hikmah Muta‟aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk merealisasikan pengetahuan sehingga terjadinya transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti syari‟at.

Dalam magnum opus-nya ini, Mulla Shadra memaparkan adanya madzhab dan pandangan dunia berdasarkan ajaran metafisika, yang didalam matriknya dijelaskan dalam empat perjalanan intelektual menuju maqam kepastian, yaitu:

1)                  Perjalanan dari makhluk (khalq) menuju Tuhan (al Haqq)
2)                  Perjalanan menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan;
3)                  Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan;
4)                  Perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan. 

Sebagai karya yang paling monumental, didalamnya tercakup hampir seluruh persoalan yang pernah dibahas oleh aliran-aliran pemikiran keislaman terdahulu, baik kalam, filsafat, maupun tasawuf. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kedudukannya adalah sebagai mahkota dari hampir seribu tahun kehidupan Islam. Karena itu, ia merupakan suatu samudera dari doktrin-doktrin metafisik Islam serta, sampai batas tertentu, khazanah sejarah intelektual Yunani.

Dalam bagian pendahuluan kitab tersebut, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, menurut Mulla Shadra, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi. Beliau menyuarakan keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat dan agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam, kebenaran itu turun sampai pada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya para filosof pada umumnya.

Dalam konteks ini, Mulla Shadra membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai oleh Thales dan berakhir pada Sokrates dan Plato. Sedangkan kategori kedua dimulai dari Phytagoras yang menerima filsafat dari Sulaiman dan para rahib Mesir –seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab.

Kaitannya dengan essensi dan eksistensi, pada awalnya Mulla Shadra mengikuti pendapat Suhrawardi yang mengatakan bahwa essensi lebih fundamental daripada eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas sesungguhnya adalah essensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya, Tuhan. Dan Cahaya itu hanya satu, sedang benda-benda yang beraneka ragam hanyalah gradasi intensitasnya atau kebenderangannya. Tetapi, kemudian Mulla Shadra membalik ajaran itu dengan mengambil pandangan Ibn Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap essensi, namun menolak Ibn Arabi tentang wahdat al wujud (ketunggalan wujud).

Mulla Shadra memahami konsep “kesatuan wujud” dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri. Menurutnya, cahaya -cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama tidak lain, keculai matahari. Shadra kemudian melanjutkan bahwa benda-benda di sekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampu menangkap essensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara essensi dan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi adalah realitas obyektif di luar pikiran, sedang essensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran, sehingga hanya merupakan wujud mental.

Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakekat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan. Dualisme essensi dan eksistensi, Mulla Shadra melanjutkan, merupakan entitas -entitas ciptaan yang sama sekali tidak terdapat pada Dzat Wajib al Wujud. Dzat Maha Mulia ini memberikan bentuk spesifik eksistensi pada semua entitas ciptaan melalui radiasi atau iluminasi (isyraq). Wajib al Wujud ini bersinonim dengan “Cahaya di atas Cahaya” dan, karena itu, bisa digambarkan sebagai sumber bagi entitas-entitas materiil yang sedikit-banyak bercahaya dan menyerupai Wajib al Wujud. Akan tetapi, yang membuat entitas-entitas materiil ini berbeda dengan Tuhan adalah watak gelapnya itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi berbeda dengan “Cahaya di atas Cahaya”. Namun begitu, jiwa manusia berbeda dengan semua entitas makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dengan kegelapan.

Dan karena hal itulah ada keterkaitan antara alam akal, atau “alam Perintah” dan alam materiil, atau “alam ciptaan”.

Dari pola pikir seperti ini, berarti Shadra sedang melanjutkan tradisi Ibn Sina dan Neo -platonisme. Namun demikian, Shadra tidak sepakat dengan Ibn Sina dalam dua hal fundamental, yaitu keabadian alam dan kebangkitan jasmani. Menurut Shadra, para filosof kuno, dari Hermes sampai Thales, Phytagoras hingga Aristoteles, sebenarnya menyatakan bahwa alam diciptakan dalam waktu (muhdats). Lanjutnya, satu-satunya wujud yang eksistensinya mendahului waktu dan gerak adalah Tuhan. Ia beralasan, karena waktu bagian dari alam, mustahil waktu bisa mendahului perintah kreatif Tuhan (Amr) yang telah menimbulkan keberadaannya.

Kaitannya dengan kebangkitan di akhirat, Mulla Shadra berpendapat bahwa manusia pada saat itu akan memasuki tempat tinggal yang lebih tinggi, yang di dalamnya jiwa dan raga menjadi identik. Secara lebih eksplisit, pada hari kiamat, raga atau bentuk akan menjadi identik dengan jiwa dan kebiasaan atau perangai yang dijalaninya di alam yang lebih rendah (dunia). Dengan perkataan lain, penyatuan jiwa dan raga atau keidentikan keduanya dipelihara pada hari kiamat.

Dalam hal ini, kiranya dapat dipahami bahwa konsep kebangkitan di akhirat dari Mulla Shadra ini selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan konsep al Farabi, Ibn Sina ataupun Ibn Rusyd.

Persoalan pelik lain yang dibahas oleh banyak filosof dan teolog Islam adalah masalah pengetahuan Tuhan tentang dunia. Hal ini pun tidak luput dari kajian Mulla Shadra yang membahasnya dalam al Syawahid al Rububiyyah. Ia menegaskan bahwa ia telah memperoleh pengetahuan yang utuh tentang misteri ini melalui inspirasi (ilham), penyingkapan (kasyf), dan “keyakinan yang pasti” („ain al yaqin).

Selanjutnya, Mulla Shadra mengungkapkan mengenai pengetahuan dunia yang didasarkan pada tesis bahwa ketika wujud tidak tercampur dengan non-eksistensi dan tidak terselubungi olehnya, maka ia memanifestasikan kepada dirinya. Karena itu, essensi wujud ini mengetahui dirinya, dan essensinya adalah pengetahuan tentang dirinya dan obyek yang diketahui oleh dirinya, karena cahaya wujud itu satu, maka tabir yang menutupi realitas sesuatu tidak lain hanyalah non-eksistensi. Mulla Shadra juga mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. Yang pertama, tingkat pemeliharaan (inayah), yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat essensi-Nya sendiri. Tingkat kedua, adalah tingkat ketetapan global (al Qadla‟ al Ijmali) yang diinterpretasikan sebagai pena (al Qalam) yang mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di bawahnya. Tingkat ketiga, adalah lembaran (al Lauh), yang juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al Qadla‟ al Tafshili). Hubungan tingkat ketiga ini dengan bentuk-bentuk di dunia ini adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat, adalah ketentuan melalui pengetahuan (al Qadar al „Ilmi) yang terdiri dari dunia imajinal dan dunia bentuk-bentuk menggantung. Tingkat kelima, adalah ketentuan melalui objektifikasi (al Qadar al „Aini) yang terdiri atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Illahi langsung karena menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi. Lebih lanjut, setiap tingkat yang disebutkan Mulla Shadra itu mempunyai wujud yang memberinya realitas, dan karena hanya ada satu wujud sebagaimana ditandaskan oleh doktrin wahdah al wujud, maka Tuhan mengetahui semua mawjud berdasarkan pengetahuan-Nya tentang essensi-Nya sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah wujud mutlak.

Minggu, 18 Oktober 2015

ILMU KALAM

ILMU KALAM
PENGERTIAN ILMU KALAM DAN RUANG LINGKUP ILMU KALAM
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah salah satu bentuk ilmu keislaman Kajian dalam ilmu kalam terfokus pasa aspek ketuhanan (devesivasinya) atau bentuk karena itu disebut teologi dialetika, dan rasional. Secara harfiah kata kalam artinya pembicaraan tetapi bukan dalam arti pembicaraan sehari-hari (omongan) melainkan pembicaraan yang bernalar dan logika (akal).
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
1. Rasionalitas
2. Logis
Beberapa ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan argument mereka masing-masing tentang definisi Ilmu Kalam :
Menurut Al-‘iji Ilmu Kalam adalah Ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan aqidah agama (Islam) dengan mengajukan argument untuk melenyapkan keraguan-keraguan.
Menurut Ibnu Khaldun Ilmu Kalam adalah Ilmu yang mengandung argument-argument rasional untuk membela Aqidah-aqidah Imanya dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah (perbuatan-perbuatan baru tanpa contoh) yang didalam aqidah menyimpang dari mazhab salah dan ahli sunnah.
Menurut Fu’at Al-Ahwani Ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah agama dengan ajaran-ajaran yang rasional.
2. Materi Kajian Ilmu Kalam
Dari definisi diatas dipahami bahwa materi kajian ilmu kalam ialah jama’ak aqoid artinya apa yang dipercayai dan diyakini oleh hati manusia.
3. Sebab-sebab Penamaan
1. Ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Alquran itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
a. Persoalan Qodimiyah Kalamullah
b. Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c. Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq
2. Ilmu Ushuluddin
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT, itu Esa Shifa, Esa Af’al dll. Atau yang membahas pokok-pokok Agama.
3. Ilmu Tauhid
Sebab penamaan Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas masalah keesaan Allah SWT, adalah salah satu bagian yaitu I’tiqodun biannallahata’ala waahidada laasyariikalah,
4. Teologi Islam
Karena teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu alqoid dll.
II. BEBERAPA PENGERTIAN DASAR DALAM ILMU KALAM
a. Iman
- Menurut Jahmiyah dan As’ariyah iman hanyalah tasdik membenarkan di dalam hati.
- Menurut Imam Hanafi Iman hanyalah I’tikod sedangkan amal bukti iman tetapi tidak dinamai iman.
- Menurut Ulama Salaf termasuk Imam Syafi’i dan ahmad, malik iman adalah iq’tiqoh sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan di amalkan dengan anggota tubuh)
Apabila iman berdiri sendiri maka yang dimaksud iman yang mencangkup dimensi hati lisan dan amal (Al-Mukminun : 3) iman berarti Iq’tiqoh (keyakinan)
- Secara harfiah iman berasal dari bahasa arab yang artinya kepercayaan atau keyakinan yaitu maksudnya meyakini secara pasti tanpa sedikit keraguan.
- Iman adalah kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan tidak bercampur syak dan keraguaan, serta memberi pengaruh bak tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari.
b. Pokok-pokok Iman
Sumber pokok iman terambil dari Al-baqarah 177 Al-Baqarah 285 dan secara kronologis dalam hadits ketika nabi ditanya jibril tentang iman.
• • •
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
2. Kufur
a. Pengertian Kufur
Kafir adalah panggilan bagi orang yang tiada iman menurut Islam. Sedangkan kufur menurut bahasa adalah menutupi sedangkan menurut istilah menutup –nutupi nikmat dan kebenaran baik kebenaran dalam arti Tuhan maupun ajarannya melalui Rosul.
b. Macam-macam Kafir
1. Kafir Munafik
Munafik berasal dari bahasa arab yang artinya menyembunyikan dalam hati, berlawanan dengan lahiriyah, lain dimulut lain dikata lain diperbuat, ketidakcocokan antara perkataan dan perbuatan.
Kafir Munafik adalah menzhahirkan apa yang bertentangan dengan hatinya. Maksudnya orang itu tidak beriman tetapi menyatakan iman yang bertentangan dengan hati nurani (Al-baqarah : 10).
2. Murtad
Murtad adalah kembali dan menjauhi islam maksudnya seseorang yang beriman kemudian kafir kembali disebut juga millah.
3. Kafir Musyrik
Kafir musyrik adalah seorang yang mempunyai tuhan lebih dari satu dan menetapkan persekutuan, adapun karakteristik orang yang musyrik adalah sebagai berikut :
1. Penutupan Pintu Hati
2. Zalim
3. Sistem Ibadah
4. Waktu
4. Kafir Kitaby
Kafir Kitaby adalah ahli yang beriman kepada kitab yaitu orang yang beriman kepada Allah SWT. Sebelum Al-Qur’an datang dan setelah Al-Qur’an datang mereka mengingkari sebagai kitab Allah yang mena’subkan (menghapuskan aturan kitab terdahulu)
5. Kafir Dahari
Kafir Dahari adalah orang mempecayai kekalnya masa dan keadaan serta menyandarkan kejadian-kejadian di ala mini pada masa.
6. Kafir Mu’atil (ateis)
Kafir Mu’atil adalah tidak percaya adanya Tuhan segala yang ada dialam ini tidak ada yang menjadikan melainkan terjadi sendirinya.
7. Kafir Zindiq
Kafir Zindiq adalah keadaan pura-pura beriman maksudnya seseorang mengakui kerasulan Muhammad SAW, serta percaya dan mengerjakan pokok-pokok Islam tetapi menyembunyikan keinginannya dan juga menetang serta merusak agama Islam dari dalam, intinya kafir ini adalah seorang yang mendustakan rasul dan kerasulan nabi Muhammad SAW.
3. Nifaq
a. Pengertian Nifaq
Nifaq adalah kemunafikkan atau ketidaksesuaian antara karsa dan karya atau apa yang diperbuat bukan menifestasi atau gambaran, cerminan dari kehendak hati yang sebenarnya. (Al-Fatah : 11).
b. Jenis-Jenis Nifaq
1. Nifak Kuddin adalah secara lahiriyah menyatakan Iman tetapi pada batinya ingkat/kufur amal-amal di dorong oleh rasa-rasa tertentu bukan oleh rasa imannya. Munafik ini diancam An-Nisa 145.
2. Nifak Amali adalah keyakinan dan keimanan seseorang itu terhadap islam ada dan tetap terpelihara baik secara lahir maupun batin tetapi karna dia manusia awam kadang-kadang terwujud sifat kemunafikkan dalam pola hidupnya sehar-hari. Sifat munafik menurut hadits Bukhari Muslim Abdullah Umar
a. kalau bicara dusta
b. kalau berjanji ingkar
c. kalau dipercayai hianati
d. jika diperintah setia tapi curang
tetapi kalau menurut Bukhari Muslim dari Abu Khurairah ada tiga yaitu :
a. jika dia berbicara dia selalu berdusta
b. jika dia berjanji dia selalu ingkar
c. jika dia dipercayai dia selau khianati
dalam mengkaji sifat-sifat Tuhan Ulama’ membagai ke dalam klasifikasi, terutama kelompok ahli sunnah lewat karya imam, Assanusi mengkaji sifat Alla SWT, kepada Sifat yang wajib, mustahil dan jaiz empat kategori yaitu :
a. Nafsiyah adalah sifat yang berhubungan dengan diri dzat Allah SWT, yaitu sifat wujud
b. Salabiyah adalah menafikkan yang meniadakan sifat yang mustahil bagi Allah SWT, dan sifat yang wajib, maksudnya membicarakan wujud itu sendiri yang terkelompok di dalamnya terdahulu, tiada bermula, kekal, berbeda dengan makhluk yang lainnya, berdiri dengan diri sendiri, Allah maha esa, misalnya sifat wajib dengan meniadakan sifat.
c. Ma’any (menjelaskan) adalah penggagasan tentang sifat yang wajib bagi Allah SWT. Menurut hukum akal tidak mungkin Allah SWT itu lemah) maka Allah SWT bersifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata,
d. Ma’nawiyah adalah hanya ditambah maha misalnya maha berkuasa, maha berkehendak, maha mengetahui, maha hidup, maha mendengar, maha melihat, maha berkata-kata.
4. Tauhid Af’ala
a. Pengertian Tauhid Af’al
Tauhid Af’al adalah meyakini bahwa Allah SWT yang memperbuat segala sesuatu, persoalan, mengapa Allah SWT menciptakan keburukan, walaupun Allah SWT menciptakan keburukan tapi tidak ada ayat atau hadits yang menyuruh atau mengajak pada keburukan, seperti di dalam Q.S Al-A’raf 28-29.
Dalam istilah ilmu kalam dikenal dengan istilah Qadha Allah SWT atau Taqdir, Taqdir Allah SWT ada dua yaitu :
1. Taqdir Mubrom
Adalah qodha dan qadhar yang tidak bisa merubah kecuali melaui do’a contoh taqdir mubrom adalah balak, jodoh, mati, rizki.
2. Taqdir Mu’allaf
Adalah taqdir yang bisa di ikhtiyarkan, seperti dalam hadits
Artinya : “Manusia yang merencanakan dan Allah SWT, yang menetapkan”
b. Macam-macam Tauhid
1. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah SWT, dan hanya Allah SWT, yang berhak dan untuk beribadah karena Allah SWT, itu Ar-Rozaq, Al-Khalik (menciptakan), didalam Q.S Muhammad : 19
2. Tuhid Rububiyah adalah mengesahkan Allah bahwa hanya Allah SWT, yang telah menciptakan segala mahluk baik nyata maupun ghaib, dialah yang memelihara alam semesta, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Fatir : 1.
5. Syirik
a. Pengertian Syirik
Menurut istilah Ilmu Kalam Syirik adalah perilaku (sikap) menyekutukan Allah baik Dzat-nya, sifatnya, dan Af’al. sedangkan menurut istilah syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lainnya baik menyekutukan dari segi Dzat, Sifat, Wujud, ataupun dari segi perbuatan.
b. Macam-macam Syirik
- Syirik Uluhiyah adalah syirik dalam ibadah dimana perbuatan seseorang menunjukkan bahwa dia beribadah kepada mahluk Tuhan yang tidak pantas untuk disembah, syirik Uluhiyah ada dua yaitu :
1. Mempercayai Allah SWT, mempunyai tandingan sebagaimana ia menyembah Allah SWT, Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah : 165.
2. Syirik kecil atau “Asghar” yaitu beramal karena kepentingan diri orang lain, misalnya Riya’ dll.
- Syirik Rububiyah adalah sesuatu kepercayaan yang tidak mengakui keesaan Allah SWT, yang telah menciptakan segalah mahluk baik yang nyata maupun tidak nyata atau ghaib, syirik ini pun ada dua macam yaitu :
a. Syirik Ta’til atau kosong adalah meniadakan Tuhan sebagai pencipta. Contoh Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.
b. Syirik yang mempercayai bahwa disamping Allah SWT, ada tuhan lain, contohnya menganggap Tuhan punya anak dll.
c. Syirik menurut Al-qur’an ada 4 tingkatan
1. Menyekutukan dalam ibadah ada sesembahan selain Allah (Az-Zumar : 3).
2. Mempercayai benda lain apa saja yang dapat mengatur nasib manusia. Atau menyakini benda itu memiliki sifat Illahiyah (Tuhan) (An-Nahl : 51)
3. Mempertuhankan manusia yaitu menjadikan manusia sebagai Tuhan mungkin pembuka agama, pendeta, mubaligh, wali Allah / orang yang dipandang luar biasa (Al-Maidah : 116)
4. Menuhankan Hawa Nafsu (Al-Jasiyah : 23).
6. Makrifah
Didalam lapangan Ilmu Kalam ada istilah Ulama Kalam membagi makrifah menjadi 3 kategori :
1. Ma’rifah Mubdak, kita mengenal Allah SWT sejak di dalam kandugan
2. Ma’rifah Wasithah, artinya mengenal Allah SWT melalui perantara
3. ma’rifah Ma’ad artinya mengenal Allah SWT melalui pelantara
Makrifah artinya mengenal, mengerti, mengetahui (tindak goyah) yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Berdasarkan dalil aqli maupun naqli sedangkan kepercayaan ragu belum di katakana ma’rifah kepercayaan itu disebut ikut-ikut saja / taqli.
7. Aqidah
1. Pengertian Aqidah
Secara etimologis aqidah bersal dari bahasa Arab yaitu ikatan, sangkutan, secara terminologis aqidah adalah kepercayaan, keyakinan atau keimanan. Jadi, Aqidah adalah kepercayaan kepada sesuatu hakikat tertentu dengan keyakinan yang mutlak yang tidak di undang keraguan dan perdebatan.
a. Khurafat dan Tahayul
Khurafat adalah kepercayaan kepada yang gaib yang tidak bersumberkan pada Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan tahayul adalah cerita bohong atau tidak masuk akal yang tidak bersumber dari kitab suci maupun dari akal.
b. Dalil Aqli
Dalil Aqli adalah dalil yang menggunakan akal pikiran untuk merenunkan diri sendiri, alam semesta, dan lain-lainnya. Dalil aqli dikatakan benar apabila pokok pikiran dalam menetapkan sesuatu keputusan dapat diterima, sedangkan utusan itu dapat masuk kedalam perasaan dan bersifat logis yang dapat menimbulkan keyakinan.
c. Dalil Naqli
Yaitu dalil yang berasal dari Al-Quran dan Hadits. Ulama’ Kalam menetapkan dua syarat untuk menetapakan iman yaitu :
1. Qod’I (pasti kebenarannya) maksudnya adalah dalil itu benar-benar datang dari rasul tanpa ada keraguan yang demikian itu hanya terdapat keterangan mutawatir.
2. Pasti (tegas tujuannya) maksudnya dalil aqli itu tidak memiliki makna dua atau lebih, dalil naqli yang pasti tujuannya dapat menetapkan keyakinan yang dapat menumbuhkan aqidah yang kuat.
III. HUBUNGAN IMAN DENGAN IBADAH DAN HUBUNGAN IMAN DENGAN MORAL
1. Hubungan Iman Dengan Ibadah
Ada tiga defenisi tentang ibadah :
a. Ibadah dalam arti al-khudu (tunduk, patuh dan idman) dalam ucapan ataupun perbuatan yang timbul pada sifat ketuhanan atau uluhiyah yang dimiliki oleh siapa yang ditunjukkan khudu kepadanya, jada menadi unsur utama dalam beribadah.
b. Ibadah ialah khudu’ di hadapan yang dipercayai sebagai memiliki sesuatu dari urusan-urusan kemajudan hidup dan mati sipelaku khudu’, sekarang dan yang akan datang, maksudnya seorang abid menyadari statusnya sebagai hamba yang termiliki dan di sisi lain ia merasakan stastus sesuatu sebagai pemilik :
1. Pemilik hakiki adalah Allah SWT pemilik hakiki manusia, karena dialah yang menciptakan dari ketiadaan.
2. Sebutan pemilik diberikan berdasarkan kenyataanya sebagai pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan karena itu setiap manusia yang sehat pitrahnya pasti menyadari status sebagai mahluk dan dialah yang memilikik hidup dan mati.
3. Ibadah ialah Khudu’ seseorang yang melihat dirinya tidak bebas dan mandiri sepenuhnya dalam perwujudan dan perbuatannya dihadapan sesuatu.
2. Hubungan Iman dengan Etika
Iman memuat ajaran-ajaran pokok yang bertalian dengan persoalan-persoalan batin beragama, antara lain beriman secara benar kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Nabi, dan Rasul, Kitab Suci serta Qodha dan Qodhar.
Etika adalah harga diri, nilai, sesuatu ya ung berharga, sesuatu yang layak atau sesuai dengan aturan. Adapun tujuan iman (misi keimanan) bagi mukmin di bidang moral baru bisa tercapai dengan “kemerdekaan” (freedom) karena kemerdekaan memungkinkan manusia untuk melakukan yang seharusnya dia dilakukan, inilah yang dimaksud dengan khalifatullah karena itulah manusia dapat melakukan nilai-nilai etika.
Jelasnya hanya manusia yang bisa merealisasikan nilai-nilai etis manusia memiliki kemerdekaan untuk yang demikian itu disamping itu memiliki pikiran dan wawasan.
IV. SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM
Sejarah munculnya ilmu kalam berawal sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, timbullah persoalan-persoalan dikalangan umat islam tentang siapakah pengganti Nabi (Khalifatul Rasul) kemudian persoalan itu dapat diatasi setelah dibai’atnyua / diangkatnya Abu Bakar As-Sidiq sebagai khalifah, setelah Abu Bakar wafat kekhalifahan dipimpin Umar Bin Khatab pada masa kepemimpinan Umar Bin Khatab umat islam tampak tegar dan mengalami Ekspansi seperti kejazirah Arabian, palestina, syiria, sebagian wilayah Persia dan Romawi serta Mesir.
Setelah kekhalifahan Umar bin Khatab berakhir maka Utsman Bin Affan menjadi Khalifah, Utsman termasuk dalam golongan Quraisy yang kaya kaum keluarganya terdiri dari orang-orang Aristokrat Mekkah karena pengalaman dagangnya mereka mempunyai pengetahuan Administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin Administrasi daerah-daerah diluar semenanjung arabiah yang bertambah masuk kebawah kekuasaaan islam. Namun karena pada masa kekhalifahan Utsman cenderung kepada nepotisme terjadilah ketidakstabilan dikalangan umat islam dengan banyaknya penentang-penentang yang tidak setuju kepada khalifah Ustman puncaknya tewas terbunuh oleh pemberontak dari Kufah, Basroh dan Mesir.
Setelah Ustman wafat Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat terpilih sebagai khalifah yang keempat tetapi ia segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah seperti Thalah, Zubair dan Aisyah peristiwa ini dikenal dengan perang jamal. Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga ingin menjadi khalifah dan menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Ustman. Dari peristiwa-peristiwa tersebut munculah Teologi asal muasal (sejarah munculnya kalam).
V. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM
1. Masalah Pelaku Dosa Besar
A. Mazhab Syi’ah
Dalam masalah politik yaitu terbunuhnya ke-tiga yaitu khalifah ustman bin affan oleh pemberontakkan dari Mesiar yang dipimpin oleh Abu Saudah bin Saba, Ustman tewas dan melahirkan konsep permasalahan apakah tetap beriman atau telah kafir, pelaku pembunuh Ustman itu dan pelaku dosa besar yang keluar dari barisan Ali karena tidak puas dengan hasil administrasi maka mereka keluar dari barisan Ali. Menurut mazhab Syi’ah pelaku dosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam dan murtad maka ia wajib dibumuh.
B. Mazhab Murji’ah
Murji’ah artinya menunda tentang pelaku dosa besar dia di akhirat, pendirinya Abdullah Ibnu Umar (anak Umar bin Khatab), mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni.
C. Mazhab Mu’tazilah
Pendirinya adalah Wasil bin Atok pendapatnya orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min orang semacam ini mengambil dua posisi diantara dua posisi atau tidak masuk surga atau tidak masuk neraka
D. Mazhab Asy’-Ariyah
Mazhab ini pendirinya adalah Hasan Al-Asy Ari (260-324 H), dia menentang pendapat mazhab mu’tazilah menurutnya tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin maka terdapat iman , menurutnya mu’min yang melakukan dosa besar bila wafat tanpa taubat mungkin orang itu diampuni dosanya oleh Allah sehingga diakhirat orang itu langsung masuk surga dan mungkin pula tidak di ampuni mak ia dimasukkan keneraka dulu baru surga. Seperti dalam hadits rosul.
2. Masalah Perbuatan Manusia dan Kaitannya pada Tuhan
Dalam ilmu kalam masalah perbuatan manusia ada dua macam :
A. Khodoriyah
Menurut Khodoriyah menusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatan, Khodoriyah mempunyai paham manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
B. Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari “Jabarah” yang mengandung arti memaksa. Paham ini berpendapat manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya dalam paham ini manusia mutlak terikat dalam kehendak Tuhan.

Senin, 15 Juni 2015