THE HUSNI'S Group
CARILAH ILMU SEBELUM AJAL MENJEMPUT
Jumat, 04 Maret 2016
Kamis, 12 November 2015
MULA SHADRA
MULLA SADRA (1571- 1640
M)
1. Sekilas Mulla Sadra dan Pemikirannya
Di awal abad ke 11
terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan
konsep -konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti
filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam
sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan
masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal
abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh
Mulla Sadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang
beliau sebut Hikmah Muta'aliyah.
Aliran filsafat baru
ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat
terdahulu, juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah
filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit
filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat
dan teologi tersebut. Disamping itu, aliran baru ini juga dapat menjembatani
antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu
tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan
pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis
mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek
pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat
sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan
logis atas doktrin -doktrin agama tersebut.
Mulla Shadra mempunyai
nama lengkap Shadr al Din Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Qawami al Syirazi.
Beliau lahir pada tahun 1571 M di Syiraz, sebuah kota yang saat itu dikenal
sebagai pusat studi filsafat dan disiplin ilmu -ilmu Islam tradisional lainnya.
Ayahnya seorang gubernur di Provinsi Fars.
Pendidikan dasarnya dijalani di kotanya,
dalam bidang al Qur‟an, Hadits, Bahasa Arab, dan Bahasa Persia. Kemudian ia
melanjutkan pendidikannya ke Isfahan. Di sana, ia belajar dan mendalami
pengetahuan pada tokoh -tokoh terkemuka saat itu, yaitu Baha‟ al Din al Amili,
Mir Damad (Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi).
Baha‟ al Din al Amili adalah seorang
saintis, ahli hukum (faqih), teolog, arsitek, dan pujangga. Darinya, Mulla Shadra mendapatkan
studi-studi yang komprehensif tentang pandangan-pandangan Syi‟ah mengenai fiqh,
ilmu hadits, serta berkenalan dengan tafsir al Qur‟an. Hal inilah yang
disinyalir membedakan Mulla Shadra dengan para filosof Islam Abad Pertengahan
sebelumnya, yang pengetahuan mereka tentang hal itu hanya sebatas dasar
-dasarnya.
Dalam periode yang sama, Mulla Shadra
mulai mengkaji apa yang lazim dikenal sebagai ilmu -ilmu intelektual (al ulum al aqliyyah) dibawah
bimbingan salah seorang filosof Islam paling besar dan orisinil, Mir Damad. Ia
dikenal sebagai “Guru Ketiga” setelah Aristoteles dan al Farabi karena
kapasitasnya sebagai seorang teolog, filosof, dan mistikus serta seorang
pujangga. Beliau mengajar filsafat Ibn Sina dengan interpretasi isyraqiyyah
(iluminatif). Karya yang merupakan masterpiece-nya adalah Qabasat,
yang menjelaskan tentang pergumulan antara filsafat, teologi, dan gnosis. Tokoh
inilah yang mendirikan ajaran yang kemudian dikembangkan Mulla Shadra,
yakni al Hikmah al Muta‟aliyyah.
Setelah periode formal studinya, Mulla
Shadra uzlah dari masyarakat dan kehidupan kota sekaligus. Ia memilih
mengasingkan diri di desa kecil Kahak, dekat kota Qum. Periode ini menandai
kesibukan Mulla Shadra yang kian meningkat dengan kehidupan kontemplatif dan
juga merupakan tahun-tahun diletakkannya dasar-dasar bagi kebanyakan karya
utamanya.
Dalam uzlah ini,
ia menghabiskan kira-kira tujuh tahun dalam praktek-praktek spiritual dan
banyak berdzikir dengan teratur untuk mensucikan jiwanya. Dalam periode ini, ia
juga melakukan introspeksi filosofis dengan merenungkan kembali
persoalan-persoalan yang telah menjadi kontroversial, tentang Tuhan, wujud
semesta dan lainnya. Ia melakukan penalaran yang mendalam serta “penyucian
diri” sampai “mata hati”-nya terbuka, sehingga periode ini benar-benar
melengkapi studi formalnya, dimana ia menyempurnakan program untuk melatih diri
menjadi seorang filosof sejati ( versi
Suhrawardi ).
Singkatnya, selama periode inilah tercapai pengetahuan yang kemudian
mengkristal dalam banyak karyanya.
Dengan demikian, masa kontemplasi Mulla
Shadra ini kiranya memberikan gambaran betapa kuatnya sikap iluminasionisnya
terhadap filsafat pada umumnya dan khususnya pandangan iluminasionis tentang
keutamaan pola pengetahuan intuitif yang dialaminya, dimana ia kemudian
menjelma menjadi ahli hikmah yang “tercerahkan”, yang mengalihkan persoalan-persoalan
metafisika dari pemahaman yang bersifat intelektual menjadi visi langsung
terhadap dunia spiritual dan membuktikan kesatuan tiga jalan utama pengetahuan
dalam diri pribadinya. Tiga jalan ini, menurut Mulla Shadra, adalah wahyu (al
wahy), demonstrasi atau inteleksi (al Burhan, al ta‟aqqul), dan visi
spiritual atau “mistis”(al mukasyafah, al musyahadah).
Seiring dengan perjalanan waktu, Mulla
Shadra terbentuk menjadi pemikir yang brilian dan menonjol, dimana ia dipandang
memahami dengan sangat baik sekali warisan pemikiran keislaman, baik yang
bercorak filosofis, keagamaan, maupun spiritual. Tradisi-tradisi filsafat
Peripatetik Muslim (masya‟i) yang mencapai titik kematangannya pada Ibn
Sina, Kalam, baik
Syi‟ah maupun Sunni, filsafat atau theosofi iluminasi
(isyraqi) dari Suhrawardi, serta tradisi sufi yang mencapai
puncaknya pada Ibn Arabi,
kesemuanya itu dikombinasikan dan diharmonisasikan olehnya secara sadar untuk tercapai
suatu grand syntesis (sintesa besar). Bahkan, bukan hanya dari berbagai
madzhab pemikran Islam saja, Mulla Shadra juga menyintesis berbagai jalan
pengetahuan manusia.
Selama masa hidupnya,
Mulla Shadra banyak sekali menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu keagamaan (naqli) maupun ilmu-ilmu intelektual (aqli).
Namun, karena Mulla Shadra memandang bahwa kedua ilmu itu berkaitan erat satu
sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama, yaitu intelek
ketuhanan , maka beliau selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam karya
filosofisnya dan begitu pula sebaliknya.
Meski begitu luas ilmu yang dikuasai
Mulla Shadra, namun apabila ditelaah secara mendalam, sebenarnya hanya ada tiga
pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi fondasi bagi sistem
pemikiran Mulla Shadra, yaitu pemikiran Ibn Sina, pemikiran iluminasi
Suhrawardi, dan pemikiran Ibn Arabi. Jelasnya, sistem pemikiran Mulla Shadra
dibangun diatas fondasi Ibn Sina, dibentuk dengan
sistem Suhrawardi, dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan Ibn
Arabi.
Berpijak dari sini, Mulla Shadra
kemudian menghasilkan karya-karya yang cukup banyak, antara lain al Hikmah
alMuta‟aliyah fi al Asfar al „Aqliyyah al Arba‟ah, al Mabda‟ wa al Ma‟ad, al
Syawahid al Rububiyyah fi al Manahij al Sulukiyyah, Mafatih al Ghaib Kitab al
Masy‟air, al Hikmah al „Arsyiyyah dan lain sebagainya.
2. Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra
Pemikiran Mulla Shadra,
saat ini, menjadi fokus kajian filsafat tradisional di Iran, juga beberapa
perguruan tinggi modern. Di Barat, kajian tentang Mulla Shadra juga sudah
dimulai oleh Max Horten dengan bukunya Das Philosophische System von
Schirazi, kemudian oleh Henri Corbin dengan bukunya La Livre des
Penetration Metaphysiques. Hal demikian dapat dipahami sebab Mulla
Shadra telah banyak sekali memberikan sumbangan terhadap filsafat, baik
ulasannya atas karya Suhrawardi (Hikmah al Isyraq) dan Ibn Sina (al
Syifa‟) ataupun karya-karya lainnya. Namun, dari sekian banyak karyanya, al
Hikmah al Muta‟aliyah fi al Asfar al „Aqliyyah al Arba‟ah adalah karya
terpenting dan terbesar dari Mulla Shadra. Bahkan bisa dikatakan sebagai puncak
dari seluruh karya filosofis yang pernah ada. Dan dari judul buku ini pula,
kemudian dikenal luas madzhab pemikiran Mulla Shadra, yaitu Hikmah
Muta‟aliyah.
Ungkapan Hikmah
Muta‟aliyah, terdiri atas dua istilah –al Hikmah (artinya teosofi)
dan al Muta‟aliyah (tinggi atau transenden). Adapun secara
epistemologis, hikmah muta‟aliyah ini berarti kebijaksanaan yang
didasarkan pada tiga prinsip, yaitu intuisi intektual (dzawq atau isyraq),
pembuktian rasional („aql atau istidlal), dan syari‟at. Dengan
demikian, hikmah muta‟aliyah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang
diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan
dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.
Hikmah Muta‟aliyah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif
tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan untuk
merealisasikan pengetahuan sehingga terjadinya transformasi wujud hanya dapat
dicapai dengan mengikuti syari‟at.
Dalam magnum opus-nya ini, Mulla
Shadra memaparkan adanya madzhab dan pandangan dunia berdasarkan ajaran
metafisika, yang didalam matriknya dijelaskan dalam empat perjalanan
intelektual menuju maqam kepastian, yaitu:
1)
Perjalanan dari makhluk (khalq)
menuju Tuhan (al Haqq)
2)
Perjalanan menuju Tuhan melalui
(bimbingan) Tuhan;
3)
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk
melalui (bimbingan) Tuhan;
4)
Perjalanan di dalam makhluk melalui
(bimbingan) Tuhan.
Sebagai karya yang paling monumental,
didalamnya tercakup hampir seluruh persoalan yang pernah dibahas oleh
aliran-aliran pemikiran keislaman terdahulu, baik kalam, filsafat, maupun
tasawuf. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kedudukannya adalah sebagai
mahkota dari hampir seribu tahun kehidupan Islam. Karena itu, ia merupakan suatu samudera dari doktrin-doktrin
metafisik Islam serta, sampai batas tertentu, khazanah sejarah intelektual
Yunani.
Dalam bagian pendahuluan kitab tersebut,
Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat.
Padahal, menurut Mulla Shadra, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan
kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi. Beliau
menyuarakan keyakinannya tentang keharmonisan sempurna antara filsafat dan
agama. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaran tunggal yang dibawa
oleh Adam. Dari Adam, kebenaran itu turun sampai pada Ibrahim, kemudian para
filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya para filosof pada umumnya.
Dalam konteks ini, Mulla Shadra
membedakan dua kategori filosof Yunani kuno. Kategori pertama dimulai
oleh Thales dan berakhir pada Sokrates dan Plato. Sedangkan kategori kedua
dimulai dari Phytagoras yang menerima filsafat dari Sulaiman dan para rahib
Mesir –seperti yang terungkap dari banyak catatan sejarah filsafat Arab.
Kaitannya dengan essensi dan eksistensi,
pada awalnya Mulla Shadra mengikuti pendapat Suhrawardi yang mengatakan bahwa
essensi lebih fundamental daripada eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam
pikiran manusia. Yang merupakan realitas sesungguhnya adalah essensi yang tidak
lain merupakan bentuk-bentuk cahaya dari Maha Cahaya, Tuhan. Dan Cahaya itu
hanya satu, sedang benda-benda yang beraneka ragam hanyalah gradasi
intensitasnya atau kebenderangannya. Tetapi, kemudian Mulla Shadra membalik
ajaran itu dengan mengambil pandangan Ibn Arabi tentang prioritas eksistensi
terhadap essensi, namun menolak Ibn Arabi tentang wahdat al wujud
(ketunggalan wujud).
Mulla Shadra memahami
konsep “kesatuan wujud” dalam hubungannya dengan kemajemukan eksistensi
bagaikan cahaya-cahaya matahari dalam hubungannya dengan matahari itu sendiri.
Menurutnya, cahaya -cahaya matahari bukanlah matahari dan pada saat yang sama
tidak lain, keculai matahari. Shadra kemudian melanjutkan bahwa benda-benda di
sekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai
eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan
realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya
mampu menangkap essensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar
antara essensi dan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi adalah realitas obyektif
di luar pikiran, sedang essensi adalah gambaran umum tentang realitas atau
benda yang ada dalam pikiran, sehingga hanya merupakan wujud mental.
Namun demikian,
gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakekat wujud,
karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti
mengandung kesalahan. Dualisme essensi dan eksistensi, Mulla Shadra
melanjutkan, merupakan entitas -entitas ciptaan yang sama sekali tidak terdapat
pada Dzat Wajib al Wujud. Dzat Maha Mulia ini memberikan bentuk spesifik
eksistensi pada semua entitas ciptaan melalui radiasi atau iluminasi (isyraq).
Wajib al Wujud ini bersinonim dengan “Cahaya di atas Cahaya” dan, karena
itu, bisa digambarkan sebagai sumber bagi entitas-entitas materiil yang
sedikit-banyak bercahaya dan menyerupai Wajib al Wujud. Akan tetapi,
yang membuat entitas-entitas materiil ini berbeda dengan Tuhan adalah watak
gelapnya itu sendiri sehingga secara keseluruhan menjadi berbeda dengan “Cahaya
di atas Cahaya”. Namun begitu, jiwa manusia berbeda dengan semua entitas
makhluk lantaran ia merupakan sebuah perpaduan cahaya dengan kegelapan.
Dan karena hal itulah ada keterkaitan
antara alam akal, atau “alam Perintah” dan alam materiil, atau “alam ciptaan”.
Dari pola pikir seperti ini, berarti
Shadra sedang melanjutkan tradisi Ibn Sina dan Neo -platonisme. Namun demikian,
Shadra tidak sepakat dengan Ibn Sina dalam dua hal fundamental, yaitu keabadian
alam dan kebangkitan jasmani. Menurut Shadra, para filosof kuno, dari Hermes
sampai Thales, Phytagoras hingga Aristoteles, sebenarnya menyatakan bahwa alam
diciptakan dalam waktu (muhdats). Lanjutnya, satu-satunya wujud yang
eksistensinya mendahului waktu dan gerak adalah Tuhan. Ia beralasan, karena
waktu bagian dari alam, mustahil waktu bisa mendahului perintah kreatif Tuhan (Amr)
yang telah menimbulkan keberadaannya.
Kaitannya dengan kebangkitan di akhirat,
Mulla Shadra berpendapat bahwa manusia pada saat itu akan memasuki tempat
tinggal yang lebih tinggi, yang di dalamnya jiwa dan raga menjadi identik.
Secara lebih eksplisit, pada hari kiamat, raga atau bentuk akan menjadi identik
dengan jiwa dan kebiasaan atau perangai yang dijalaninya di alam yang lebih rendah (dunia). Dengan perkataan
lain, penyatuan jiwa dan raga atau keidentikan keduanya dipelihara pada hari
kiamat.
Dalam hal ini, kiranya dapat dipahami
bahwa konsep kebangkitan di akhirat dari Mulla Shadra ini selangkah lebih maju
jika dibandingkan dengan konsep al Farabi, Ibn Sina ataupun Ibn Rusyd.
Persoalan pelik lain
yang dibahas oleh banyak filosof dan teolog Islam adalah masalah pengetahuan
Tuhan tentang dunia. Hal ini pun tidak luput dari kajian Mulla Shadra yang
membahasnya dalam al Syawahid al Rububiyyah. Ia menegaskan bahwa ia
telah memperoleh pengetahuan yang utuh tentang misteri ini melalui inspirasi (ilham),
penyingkapan (kasyf), dan “keyakinan yang pasti” („ain al yaqin).
Selanjutnya, Mulla
Shadra mengungkapkan mengenai pengetahuan dunia yang didasarkan pada tesis
bahwa ketika wujud tidak tercampur dengan non-eksistensi dan tidak
terselubungi olehnya, maka ia memanifestasikan kepada dirinya. Karena itu,
essensi wujud ini mengetahui dirinya, dan essensinya adalah pengetahuan
tentang dirinya dan obyek yang diketahui oleh dirinya, karena cahaya wujud
itu satu, maka tabir yang menutupi realitas sesuatu tidak lain hanyalah
non-eksistensi. Mulla Shadra
juga mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai
hierarkinya sendiri. Yang pertama, tingkat pemeliharaan (inayah),
yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat essensi-Nya sendiri. Tingkat
kedua, adalah tingkat ketetapan global (al Qadla‟ al Ijmali) yang
diinterpretasikan sebagai pena (al Qalam) yang mempunyai kekuasaan penuh
atas semua bentuk yang berada di bawahnya. Tingkat ketiga, adalah
lembaran (al Lauh), yang juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al
Qadla‟ al Tafshili). Hubungan tingkat ketiga ini dengan bentuk-bentuk di
dunia ini adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat, adalah
ketentuan melalui pengetahuan (al Qadar al „Ilmi) yang terdiri dari
dunia imajinal dan dunia bentuk-bentuk menggantung. Tingkat kelima,
adalah ketentuan melalui objektifikasi (al Qadar al „Aini) yang terdiri
atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat
terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Illahi langsung karena
menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi. Lebih lanjut, setiap
tingkat yang disebutkan Mulla Shadra itu mempunyai wujud yang memberinya
realitas, dan karena hanya ada satu wujud sebagaimana ditandaskan oleh
doktrin wahdah al wujud, maka
Tuhan mengetahui semua mawjud berdasarkan pengetahuan-Nya tentang
essensi-Nya sendiri yang tak lain dan tak bukan adalah wujud
mutlak.
Minggu, 18 Oktober 2015
ILMU KALAM
ILMU KALAM
PENGERTIAN ILMU KALAM DAN RUANG LINGKUP ILMU KALAM
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah salah satu bentuk ilmu keislaman Kajian dalam ilmu kalam terfokus pasa aspek ketuhanan (devesivasinya) atau bentuk karena itu disebut teologi dialetika, dan rasional. Secara harfiah kata kalam artinya pembicaraan tetapi bukan dalam arti pembicaraan sehari-hari (omongan) melainkan pembicaraan yang bernalar dan logika (akal).
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
1. Rasionalitas
2. Logis
Dari definisi diatas dipahami bahwa materi kajian ilmu kalam ialah jama’ak aqoid artinya apa yang dipercayai dan diyakini oleh hati manusia.
3. Sebab-sebab Penamaan
1. Ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Alquran itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
a. Persoalan Qodimiyah Kalamullah
b. Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c. Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq
2. Ilmu Ushuluddin
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT, itu Esa Shifa, Esa Af’al dll. Atau yang membahas pokok-pokok Agama.
3. Ilmu Tauhid
Sebab penamaan Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas masalah keesaan Allah SWT, adalah salah satu bagian yaitu I’tiqodun biannallahata’ala waahidada laasyariikalah,
4. Teologi Islam
Karena teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu alqoid dll.
II. BEBERAPA PENGERTIAN DASAR DALAM ILMU KALAM
a. Iman
- Menurut Jahmiyah dan As’ariyah iman hanyalah tasdik membenarkan di dalam hati.
- Menurut Imam Hanafi Iman hanyalah I’tikod sedangkan amal bukti iman tetapi tidak dinamai iman.
- Menurut Ulama Salaf termasuk Imam Syafi’i dan ahmad, malik iman adalah iq’tiqoh sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan di amalkan dengan anggota tubuh)
Apabila iman berdiri sendiri maka yang dimaksud iman yang mencangkup dimensi hati lisan dan amal (Al-Mukminun : 3) iman berarti Iq’tiqoh (keyakinan)
- Secara harfiah iman berasal dari bahasa arab yang artinya kepercayaan atau keyakinan yaitu maksudnya meyakini secara pasti tanpa sedikit keraguan.
- Iman adalah kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan tidak bercampur syak dan keraguaan, serta memberi pengaruh bak tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari.
b. Pokok-pokok Iman
Sumber pokok iman terambil dari Al-baqarah 177 Al-Baqarah 285 dan secara kronologis dalam hadits ketika nabi ditanya jibril tentang iman.
• • •
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
2. Kufur
a. Pengertian Kufur
Kafir adalah panggilan bagi orang yang tiada iman menurut Islam. Sedangkan kufur menurut bahasa adalah menutupi sedangkan menurut istilah menutup –nutupi nikmat dan kebenaran baik kebenaran dalam arti Tuhan maupun ajarannya melalui Rosul.
b. Macam-macam Kafir
1. Kafir Munafik
Munafik berasal dari bahasa arab yang artinya menyembunyikan dalam hati, berlawanan dengan lahiriyah, lain dimulut lain dikata lain diperbuat, ketidakcocokan antara perkataan dan perbuatan.
Kafir Munafik adalah menzhahirkan apa yang bertentangan dengan hatinya. Maksudnya orang itu tidak beriman tetapi menyatakan iman yang bertentangan dengan hati nurani (Al-baqarah : 10).
2. Murtad
Murtad adalah kembali dan menjauhi islam maksudnya seseorang yang beriman kemudian kafir kembali disebut juga millah.
3. Kafir Musyrik
Kafir musyrik adalah seorang yang mempunyai tuhan lebih dari satu dan menetapkan persekutuan, adapun karakteristik orang yang musyrik adalah sebagai berikut :
1. Penutupan Pintu Hati
2. Zalim
3. Sistem Ibadah
4. Waktu
4. Kafir Kitaby
Kafir Kitaby adalah ahli yang beriman kepada kitab yaitu orang yang beriman kepada Allah SWT. Sebelum Al-Qur’an datang dan setelah Al-Qur’an datang mereka mengingkari sebagai kitab Allah yang mena’subkan (menghapuskan aturan kitab terdahulu)
5. Kafir Dahari
Kafir Dahari adalah orang mempecayai kekalnya masa dan keadaan serta menyandarkan kejadian-kejadian di ala mini pada masa.
6. Kafir Mu’atil (ateis)
Kafir Mu’atil adalah tidak percaya adanya Tuhan segala yang ada dialam ini tidak ada yang menjadikan melainkan terjadi sendirinya.
7. Kafir Zindiq
Kafir Zindiq adalah keadaan pura-pura beriman maksudnya seseorang mengakui kerasulan Muhammad SAW, serta percaya dan mengerjakan pokok-pokok Islam tetapi menyembunyikan keinginannya dan juga menetang serta merusak agama Islam dari dalam, intinya kafir ini adalah seorang yang mendustakan rasul dan kerasulan nabi Muhammad SAW.
3. Nifaq
a. Pengertian Nifaq
Nifaq adalah kemunafikkan atau ketidaksesuaian antara karsa dan karya atau apa yang diperbuat bukan menifestasi atau gambaran, cerminan dari kehendak hati yang sebenarnya. (Al-Fatah : 11).
b. Jenis-Jenis Nifaq
1. Nifak Kuddin adalah secara lahiriyah menyatakan Iman tetapi pada batinya ingkat/kufur amal-amal di dorong oleh rasa-rasa tertentu bukan oleh rasa imannya. Munafik ini diancam An-Nisa 145.
2. Nifak Amali adalah keyakinan dan keimanan seseorang itu terhadap islam ada dan tetap terpelihara baik secara lahir maupun batin tetapi karna dia manusia awam kadang-kadang terwujud sifat kemunafikkan dalam pola hidupnya sehar-hari. Sifat munafik menurut hadits Bukhari Muslim Abdullah Umar
a. kalau bicara dusta
b. kalau berjanji ingkar
c. kalau dipercayai hianati
d. jika diperintah setia tapi curang
tetapi kalau menurut Bukhari Muslim dari Abu Khurairah ada tiga yaitu :
a. jika dia berbicara dia selalu berdusta
b. jika dia berjanji dia selalu ingkar
c. jika dia dipercayai dia selau khianati
dalam mengkaji sifat-sifat Tuhan Ulama’ membagai ke dalam klasifikasi, terutama kelompok ahli sunnah lewat karya imam, Assanusi mengkaji sifat Alla SWT, kepada Sifat yang wajib, mustahil dan jaiz empat kategori yaitu :
a. Nafsiyah adalah sifat yang berhubungan dengan diri dzat Allah SWT, yaitu sifat wujud
b. Salabiyah adalah menafikkan yang meniadakan sifat yang mustahil bagi Allah SWT, dan sifat yang wajib, maksudnya membicarakan wujud itu sendiri yang terkelompok di dalamnya terdahulu, tiada bermula, kekal, berbeda dengan makhluk yang lainnya, berdiri dengan diri sendiri, Allah maha esa, misalnya sifat wajib dengan meniadakan sifat.
c. Ma’any (menjelaskan) adalah penggagasan tentang sifat yang wajib bagi Allah SWT. Menurut hukum akal tidak mungkin Allah SWT itu lemah) maka Allah SWT bersifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata,
d. Ma’nawiyah adalah hanya ditambah maha misalnya maha berkuasa, maha berkehendak, maha mengetahui, maha hidup, maha mendengar, maha melihat, maha berkata-kata.
4. Tauhid Af’ala
a. Pengertian Tauhid Af’al
Tauhid Af’al adalah meyakini bahwa Allah SWT yang memperbuat segala sesuatu, persoalan, mengapa Allah SWT menciptakan keburukan, walaupun Allah SWT menciptakan keburukan tapi tidak ada ayat atau hadits yang menyuruh atau mengajak pada keburukan, seperti di dalam Q.S Al-A’raf 28-29.
Dalam istilah ilmu kalam dikenal dengan istilah Qadha Allah SWT atau Taqdir, Taqdir Allah SWT ada dua yaitu :
1. Taqdir Mubrom
Adalah qodha dan qadhar yang tidak bisa merubah kecuali melaui do’a contoh taqdir mubrom adalah balak, jodoh, mati, rizki.
2. Taqdir Mu’allaf
Adalah taqdir yang bisa di ikhtiyarkan, seperti dalam hadits
Artinya : “Manusia yang merencanakan dan Allah SWT, yang menetapkan”
b. Macam-macam Tauhid
1. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah SWT, dan hanya Allah SWT, yang berhak dan untuk beribadah karena Allah SWT, itu Ar-Rozaq, Al-Khalik (menciptakan), didalam Q.S Muhammad : 19
2. Tuhid Rububiyah adalah mengesahkan Allah bahwa hanya Allah SWT, yang telah menciptakan segala mahluk baik nyata maupun ghaib, dialah yang memelihara alam semesta, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Fatir : 1.
5. Syirik
a. Pengertian Syirik
Menurut istilah Ilmu Kalam Syirik adalah perilaku (sikap) menyekutukan Allah baik Dzat-nya, sifatnya, dan Af’al. sedangkan menurut istilah syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lainnya baik menyekutukan dari segi Dzat, Sifat, Wujud, ataupun dari segi perbuatan.
b. Macam-macam Syirik
- Syirik Uluhiyah adalah syirik dalam ibadah dimana perbuatan seseorang menunjukkan bahwa dia beribadah kepada mahluk Tuhan yang tidak pantas untuk disembah, syirik Uluhiyah ada dua yaitu :
1. Mempercayai Allah SWT, mempunyai tandingan sebagaimana ia menyembah Allah SWT, Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah : 165.
2. Syirik kecil atau “Asghar” yaitu beramal karena kepentingan diri orang lain, misalnya Riya’ dll.
- Syirik Rububiyah adalah sesuatu kepercayaan yang tidak mengakui keesaan Allah SWT, yang telah menciptakan segalah mahluk baik yang nyata maupun tidak nyata atau ghaib, syirik ini pun ada dua macam yaitu :
a. Syirik Ta’til atau kosong adalah meniadakan Tuhan sebagai pencipta. Contoh Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.
b. Syirik yang mempercayai bahwa disamping Allah SWT, ada tuhan lain, contohnya menganggap Tuhan punya anak dll.
c. Syirik menurut Al-qur’an ada 4 tingkatan
1. Menyekutukan dalam ibadah ada sesembahan selain Allah (Az-Zumar : 3).
2. Mempercayai benda lain apa saja yang dapat mengatur nasib manusia. Atau menyakini benda itu memiliki sifat Illahiyah (Tuhan) (An-Nahl : 51)
3. Mempertuhankan manusia yaitu menjadikan manusia sebagai Tuhan mungkin pembuka agama, pendeta, mubaligh, wali Allah / orang yang dipandang luar biasa (Al-Maidah : 116)
4. Menuhankan Hawa Nafsu (Al-Jasiyah : 23).
6. Makrifah
Didalam lapangan Ilmu Kalam ada istilah Ulama Kalam membagi makrifah menjadi 3 kategori :
1. Ma’rifah Mubdak, kita mengenal Allah SWT sejak di dalam kandugan
2. Ma’rifah Wasithah, artinya mengenal Allah SWT melalui perantara
3. ma’rifah Ma’ad artinya mengenal Allah SWT melalui pelantara
Makrifah artinya mengenal, mengerti, mengetahui (tindak goyah) yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Berdasarkan dalil aqli maupun naqli sedangkan kepercayaan ragu belum di katakana ma’rifah kepercayaan itu disebut ikut-ikut saja / taqli.
7. Aqidah
1. Pengertian Aqidah
Secara etimologis aqidah bersal dari bahasa Arab yaitu ikatan, sangkutan, secara terminologis aqidah adalah kepercayaan, keyakinan atau keimanan. Jadi, Aqidah adalah kepercayaan kepada sesuatu hakikat tertentu dengan keyakinan yang mutlak yang tidak di undang keraguan dan perdebatan.
a. Khurafat dan Tahayul
Khurafat adalah kepercayaan kepada yang gaib yang tidak bersumberkan pada Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan tahayul adalah cerita bohong atau tidak masuk akal yang tidak bersumber dari kitab suci maupun dari akal.
b. Dalil Aqli
Dalil Aqli adalah dalil yang menggunakan akal pikiran untuk merenunkan diri sendiri, alam semesta, dan lain-lainnya. Dalil aqli dikatakan benar apabila pokok pikiran dalam menetapkan sesuatu keputusan dapat diterima, sedangkan utusan itu dapat masuk kedalam perasaan dan bersifat logis yang dapat menimbulkan keyakinan.
c. Dalil Naqli
Yaitu dalil yang berasal dari Al-Quran dan Hadits. Ulama’ Kalam menetapkan dua syarat untuk menetapakan iman yaitu :
1. Qod’I (pasti kebenarannya) maksudnya adalah dalil itu benar-benar datang dari rasul tanpa ada keraguan yang demikian itu hanya terdapat keterangan mutawatir.
2. Pasti (tegas tujuannya) maksudnya dalil aqli itu tidak memiliki makna dua atau lebih, dalil naqli yang pasti tujuannya dapat menetapkan keyakinan yang dapat menumbuhkan aqidah yang kuat.
III. HUBUNGAN IMAN DENGAN IBADAH DAN HUBUNGAN IMAN DENGAN MORAL
1. Hubungan Iman Dengan Ibadah
Ada tiga defenisi tentang ibadah :
a. Ibadah dalam arti al-khudu (tunduk, patuh dan idman) dalam ucapan ataupun perbuatan yang timbul pada sifat ketuhanan atau uluhiyah yang dimiliki oleh siapa yang ditunjukkan khudu kepadanya, jada menadi unsur utama dalam beribadah.
b. Ibadah ialah khudu’ di hadapan yang dipercayai sebagai memiliki sesuatu dari urusan-urusan kemajudan hidup dan mati sipelaku khudu’, sekarang dan yang akan datang, maksudnya seorang abid menyadari statusnya sebagai hamba yang termiliki dan di sisi lain ia merasakan stastus sesuatu sebagai pemilik :
1. Pemilik hakiki adalah Allah SWT pemilik hakiki manusia, karena dialah yang menciptakan dari ketiadaan.
2. Sebutan pemilik diberikan berdasarkan kenyataanya sebagai pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan karena itu setiap manusia yang sehat pitrahnya pasti menyadari status sebagai mahluk dan dialah yang memilikik hidup dan mati.
3. Ibadah ialah Khudu’ seseorang yang melihat dirinya tidak bebas dan mandiri sepenuhnya dalam perwujudan dan perbuatannya dihadapan sesuatu.
2. Hubungan Iman dengan Etika
Iman memuat ajaran-ajaran pokok yang bertalian dengan persoalan-persoalan batin beragama, antara lain beriman secara benar kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Nabi, dan Rasul, Kitab Suci serta Qodha dan Qodhar.
Etika adalah harga diri, nilai, sesuatu ya ung berharga, sesuatu yang layak atau sesuai dengan aturan. Adapun tujuan iman (misi keimanan) bagi mukmin di bidang moral baru bisa tercapai dengan “kemerdekaan” (freedom) karena kemerdekaan memungkinkan manusia untuk melakukan yang seharusnya dia dilakukan, inilah yang dimaksud dengan khalifatullah karena itulah manusia dapat melakukan nilai-nilai etika.
Jelasnya hanya manusia yang bisa merealisasikan nilai-nilai etis manusia memiliki kemerdekaan untuk yang demikian itu disamping itu memiliki pikiran dan wawasan.
IV. SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM
Sejarah munculnya ilmu kalam berawal sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, timbullah persoalan-persoalan dikalangan umat islam tentang siapakah pengganti Nabi (Khalifatul Rasul) kemudian persoalan itu dapat diatasi setelah dibai’atnyua / diangkatnya Abu Bakar As-Sidiq sebagai khalifah, setelah Abu Bakar wafat kekhalifahan dipimpin Umar Bin Khatab pada masa kepemimpinan Umar Bin Khatab umat islam tampak tegar dan mengalami Ekspansi seperti kejazirah Arabian, palestina, syiria, sebagian wilayah Persia dan Romawi serta Mesir.
Setelah kekhalifahan Umar bin Khatab berakhir maka Utsman Bin Affan menjadi Khalifah, Utsman termasuk dalam golongan Quraisy yang kaya kaum keluarganya terdiri dari orang-orang Aristokrat Mekkah karena pengalaman dagangnya mereka mempunyai pengetahuan Administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin Administrasi daerah-daerah diluar semenanjung arabiah yang bertambah masuk kebawah kekuasaaan islam. Namun karena pada masa kekhalifahan Utsman cenderung kepada nepotisme terjadilah ketidakstabilan dikalangan umat islam dengan banyaknya penentang-penentang yang tidak setuju kepada khalifah Ustman puncaknya tewas terbunuh oleh pemberontak dari Kufah, Basroh dan Mesir.
Setelah Ustman wafat Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat terpilih sebagai khalifah yang keempat tetapi ia segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah seperti Thalah, Zubair dan Aisyah peristiwa ini dikenal dengan perang jamal. Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga ingin menjadi khalifah dan menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Ustman. Dari peristiwa-peristiwa tersebut munculah Teologi asal muasal (sejarah munculnya kalam).
V. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM
1. Masalah Pelaku Dosa Besar
A. Mazhab Syi’ah
Dalam masalah politik yaitu terbunuhnya ke-tiga yaitu khalifah ustman bin affan oleh pemberontakkan dari Mesiar yang dipimpin oleh Abu Saudah bin Saba, Ustman tewas dan melahirkan konsep permasalahan apakah tetap beriman atau telah kafir, pelaku pembunuh Ustman itu dan pelaku dosa besar yang keluar dari barisan Ali karena tidak puas dengan hasil administrasi maka mereka keluar dari barisan Ali. Menurut mazhab Syi’ah pelaku dosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam dan murtad maka ia wajib dibumuh.
B. Mazhab Murji’ah
Murji’ah artinya menunda tentang pelaku dosa besar dia di akhirat, pendirinya Abdullah Ibnu Umar (anak Umar bin Khatab), mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni.
C. Mazhab Mu’tazilah
Pendirinya adalah Wasil bin Atok pendapatnya orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min orang semacam ini mengambil dua posisi diantara dua posisi atau tidak masuk surga atau tidak masuk neraka
D. Mazhab Asy’-Ariyah
Mazhab ini pendirinya adalah Hasan Al-Asy Ari (260-324 H), dia menentang pendapat mazhab mu’tazilah menurutnya tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin maka terdapat iman , menurutnya mu’min yang melakukan dosa besar bila wafat tanpa taubat mungkin orang itu diampuni dosanya oleh Allah sehingga diakhirat orang itu langsung masuk surga dan mungkin pula tidak di ampuni mak ia dimasukkan keneraka dulu baru surga. Seperti dalam hadits rosul.
2. Masalah Perbuatan Manusia dan Kaitannya pada Tuhan
Dalam ilmu kalam masalah perbuatan manusia ada dua macam :
A. Khodoriyah
Menurut Khodoriyah menusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatan, Khodoriyah mempunyai paham manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
B. Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari “Jabarah” yang mengandung arti memaksa. Paham ini berpendapat manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya dalam paham ini manusia mutlak terikat dalam kehendak Tuhan.
PENGERTIAN ILMU KALAM DAN RUANG LINGKUP ILMU KALAM
A. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu Kalam adalah salah satu bentuk ilmu keislaman Kajian dalam ilmu kalam terfokus pasa aspek ketuhanan (devesivasinya) atau bentuk karena itu disebut teologi dialetika, dan rasional. Secara harfiah kata kalam artinya pembicaraan tetapi bukan dalam arti pembicaraan sehari-hari (omongan) melainkan pembicaraan yang bernalar dan logika (akal).
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membahas soal-soal keimanan yang sering juga disebut Ilmu Aqaid atau Ilmu Ushuluddin.
1. Rasionalitas
2. Logis
Beberapa ulama memberikan pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan argument mereka masing-masing tentang definisi Ilmu Kalam :
Menurut Al-‘iji Ilmu Kalam adalah Ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan aqidah agama (Islam) dengan mengajukan argument untuk melenyapkan keraguan-keraguan.
Menurut Ibnu Khaldun Ilmu Kalam adalah Ilmu yang mengandung argument-argument rasional untuk membela Aqidah-aqidah Imanya dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah (perbuatan-perbuatan baru tanpa contoh) yang didalam aqidah menyimpang dari mazhab salah dan ahli sunnah.
Menurut Fu’at Al-Ahwani Ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah agama dengan ajaran-ajaran yang rasional.
2. Materi Kajian Ilmu Kalam Menurut Al-‘iji Ilmu Kalam adalah Ilmu yang memberi kemampuan untuk menetapkan aqidah agama (Islam) dengan mengajukan argument untuk melenyapkan keraguan-keraguan.
Menurut Ibnu Khaldun Ilmu Kalam adalah Ilmu yang mengandung argument-argument rasional untuk membela Aqidah-aqidah Imanya dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah (perbuatan-perbuatan baru tanpa contoh) yang didalam aqidah menyimpang dari mazhab salah dan ahli sunnah.
Menurut Fu’at Al-Ahwani Ilmu Kalam adalah memperkuat aqidah agama dengan ajaran-ajaran yang rasional.
Dari definisi diatas dipahami bahwa materi kajian ilmu kalam ialah jama’ak aqoid artinya apa yang dipercayai dan diyakini oleh hati manusia.
3. Sebab-sebab Penamaan
1. Ilmu kalam karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Alquran itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
a. Persoalan Qodimiyah Kalamullah
b. Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c. Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq
2. Ilmu Ushuluddin
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT, itu Esa Shifa, Esa Af’al dll. Atau yang membahas pokok-pokok Agama.
3. Ilmu Tauhid
Sebab penamaan Ilmu Tauhid karena ilmu ini membahas masalah keesaan Allah SWT, adalah salah satu bagian yaitu I’tiqodun biannallahata’ala waahidada laasyariikalah,
4. Teologi Islam
Karena teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu alqoid dll.
II. BEBERAPA PENGERTIAN DASAR DALAM ILMU KALAM
a. Iman
- Menurut Jahmiyah dan As’ariyah iman hanyalah tasdik membenarkan di dalam hati.
- Menurut Imam Hanafi Iman hanyalah I’tikod sedangkan amal bukti iman tetapi tidak dinamai iman.
- Menurut Ulama Salaf termasuk Imam Syafi’i dan ahmad, malik iman adalah iq’tiqoh sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan di amalkan dengan anggota tubuh)
Apabila iman berdiri sendiri maka yang dimaksud iman yang mencangkup dimensi hati lisan dan amal (Al-Mukminun : 3) iman berarti Iq’tiqoh (keyakinan)
- Secara harfiah iman berasal dari bahasa arab yang artinya kepercayaan atau keyakinan yaitu maksudnya meyakini secara pasti tanpa sedikit keraguan.
- Iman adalah kepercayaan yang meresap kedalam hati dengan penuh keyakinan tidak bercampur syak dan keraguaan, serta memberi pengaruh bak tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari.
b. Pokok-pokok Iman
Sumber pokok iman terambil dari Al-baqarah 177 Al-Baqarah 285 dan secara kronologis dalam hadits ketika nabi ditanya jibril tentang iman.
• • •
Artinya : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
2. Kufur
a. Pengertian Kufur
Kafir adalah panggilan bagi orang yang tiada iman menurut Islam. Sedangkan kufur menurut bahasa adalah menutupi sedangkan menurut istilah menutup –nutupi nikmat dan kebenaran baik kebenaran dalam arti Tuhan maupun ajarannya melalui Rosul.
b. Macam-macam Kafir
1. Kafir Munafik
Munafik berasal dari bahasa arab yang artinya menyembunyikan dalam hati, berlawanan dengan lahiriyah, lain dimulut lain dikata lain diperbuat, ketidakcocokan antara perkataan dan perbuatan.
Kafir Munafik adalah menzhahirkan apa yang bertentangan dengan hatinya. Maksudnya orang itu tidak beriman tetapi menyatakan iman yang bertentangan dengan hati nurani (Al-baqarah : 10).
2. Murtad
Murtad adalah kembali dan menjauhi islam maksudnya seseorang yang beriman kemudian kafir kembali disebut juga millah.
3. Kafir Musyrik
Kafir musyrik adalah seorang yang mempunyai tuhan lebih dari satu dan menetapkan persekutuan, adapun karakteristik orang yang musyrik adalah sebagai berikut :
1. Penutupan Pintu Hati
2. Zalim
3. Sistem Ibadah
4. Waktu
4. Kafir Kitaby
Kafir Kitaby adalah ahli yang beriman kepada kitab yaitu orang yang beriman kepada Allah SWT. Sebelum Al-Qur’an datang dan setelah Al-Qur’an datang mereka mengingkari sebagai kitab Allah yang mena’subkan (menghapuskan aturan kitab terdahulu)
5. Kafir Dahari
Kafir Dahari adalah orang mempecayai kekalnya masa dan keadaan serta menyandarkan kejadian-kejadian di ala mini pada masa.
6. Kafir Mu’atil (ateis)
Kafir Mu’atil adalah tidak percaya adanya Tuhan segala yang ada dialam ini tidak ada yang menjadikan melainkan terjadi sendirinya.
7. Kafir Zindiq
Kafir Zindiq adalah keadaan pura-pura beriman maksudnya seseorang mengakui kerasulan Muhammad SAW, serta percaya dan mengerjakan pokok-pokok Islam tetapi menyembunyikan keinginannya dan juga menetang serta merusak agama Islam dari dalam, intinya kafir ini adalah seorang yang mendustakan rasul dan kerasulan nabi Muhammad SAW.
3. Nifaq
a. Pengertian Nifaq
Nifaq adalah kemunafikkan atau ketidaksesuaian antara karsa dan karya atau apa yang diperbuat bukan menifestasi atau gambaran, cerminan dari kehendak hati yang sebenarnya. (Al-Fatah : 11).
b. Jenis-Jenis Nifaq
1. Nifak Kuddin adalah secara lahiriyah menyatakan Iman tetapi pada batinya ingkat/kufur amal-amal di dorong oleh rasa-rasa tertentu bukan oleh rasa imannya. Munafik ini diancam An-Nisa 145.
2. Nifak Amali adalah keyakinan dan keimanan seseorang itu terhadap islam ada dan tetap terpelihara baik secara lahir maupun batin tetapi karna dia manusia awam kadang-kadang terwujud sifat kemunafikkan dalam pola hidupnya sehar-hari. Sifat munafik menurut hadits Bukhari Muslim Abdullah Umar
a. kalau bicara dusta
b. kalau berjanji ingkar
c. kalau dipercayai hianati
d. jika diperintah setia tapi curang
tetapi kalau menurut Bukhari Muslim dari Abu Khurairah ada tiga yaitu :
a. jika dia berbicara dia selalu berdusta
b. jika dia berjanji dia selalu ingkar
c. jika dia dipercayai dia selau khianati
dalam mengkaji sifat-sifat Tuhan Ulama’ membagai ke dalam klasifikasi, terutama kelompok ahli sunnah lewat karya imam, Assanusi mengkaji sifat Alla SWT, kepada Sifat yang wajib, mustahil dan jaiz empat kategori yaitu :
a. Nafsiyah adalah sifat yang berhubungan dengan diri dzat Allah SWT, yaitu sifat wujud
b. Salabiyah adalah menafikkan yang meniadakan sifat yang mustahil bagi Allah SWT, dan sifat yang wajib, maksudnya membicarakan wujud itu sendiri yang terkelompok di dalamnya terdahulu, tiada bermula, kekal, berbeda dengan makhluk yang lainnya, berdiri dengan diri sendiri, Allah maha esa, misalnya sifat wajib dengan meniadakan sifat.
c. Ma’any (menjelaskan) adalah penggagasan tentang sifat yang wajib bagi Allah SWT. Menurut hukum akal tidak mungkin Allah SWT itu lemah) maka Allah SWT bersifat berkuasa, berkehendak, mengetahui, hidup, mendengar, melihat, berkata-kata,
d. Ma’nawiyah adalah hanya ditambah maha misalnya maha berkuasa, maha berkehendak, maha mengetahui, maha hidup, maha mendengar, maha melihat, maha berkata-kata.
4. Tauhid Af’ala
a. Pengertian Tauhid Af’al
Tauhid Af’al adalah meyakini bahwa Allah SWT yang memperbuat segala sesuatu, persoalan, mengapa Allah SWT menciptakan keburukan, walaupun Allah SWT menciptakan keburukan tapi tidak ada ayat atau hadits yang menyuruh atau mengajak pada keburukan, seperti di dalam Q.S Al-A’raf 28-29.
Dalam istilah ilmu kalam dikenal dengan istilah Qadha Allah SWT atau Taqdir, Taqdir Allah SWT ada dua yaitu :
1. Taqdir Mubrom
Adalah qodha dan qadhar yang tidak bisa merubah kecuali melaui do’a contoh taqdir mubrom adalah balak, jodoh, mati, rizki.
2. Taqdir Mu’allaf
Adalah taqdir yang bisa di ikhtiyarkan, seperti dalam hadits
Artinya : “Manusia yang merencanakan dan Allah SWT, yang menetapkan”
b. Macam-macam Tauhid
1. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah SWT, dan hanya Allah SWT, yang berhak dan untuk beribadah karena Allah SWT, itu Ar-Rozaq, Al-Khalik (menciptakan), didalam Q.S Muhammad : 19
2. Tuhid Rububiyah adalah mengesahkan Allah bahwa hanya Allah SWT, yang telah menciptakan segala mahluk baik nyata maupun ghaib, dialah yang memelihara alam semesta, sebagaimana firman Allah SWT Q.S Al-Fatir : 1.
5. Syirik
a. Pengertian Syirik
Menurut istilah Ilmu Kalam Syirik adalah perilaku (sikap) menyekutukan Allah baik Dzat-nya, sifatnya, dan Af’al. sedangkan menurut istilah syirik adalah menyekutukan Allah dengan yang lainnya baik menyekutukan dari segi Dzat, Sifat, Wujud, ataupun dari segi perbuatan.
b. Macam-macam Syirik
- Syirik Uluhiyah adalah syirik dalam ibadah dimana perbuatan seseorang menunjukkan bahwa dia beribadah kepada mahluk Tuhan yang tidak pantas untuk disembah, syirik Uluhiyah ada dua yaitu :
1. Mempercayai Allah SWT, mempunyai tandingan sebagaimana ia menyembah Allah SWT, Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah : 165.
2. Syirik kecil atau “Asghar” yaitu beramal karena kepentingan diri orang lain, misalnya Riya’ dll.
- Syirik Rububiyah adalah sesuatu kepercayaan yang tidak mengakui keesaan Allah SWT, yang telah menciptakan segalah mahluk baik yang nyata maupun tidak nyata atau ghaib, syirik ini pun ada dua macam yaitu :
a. Syirik Ta’til atau kosong adalah meniadakan Tuhan sebagai pencipta. Contoh Fir’aun yang mengaku sebagai Tuhan.
b. Syirik yang mempercayai bahwa disamping Allah SWT, ada tuhan lain, contohnya menganggap Tuhan punya anak dll.
c. Syirik menurut Al-qur’an ada 4 tingkatan
1. Menyekutukan dalam ibadah ada sesembahan selain Allah (Az-Zumar : 3).
2. Mempercayai benda lain apa saja yang dapat mengatur nasib manusia. Atau menyakini benda itu memiliki sifat Illahiyah (Tuhan) (An-Nahl : 51)
3. Mempertuhankan manusia yaitu menjadikan manusia sebagai Tuhan mungkin pembuka agama, pendeta, mubaligh, wali Allah / orang yang dipandang luar biasa (Al-Maidah : 116)
4. Menuhankan Hawa Nafsu (Al-Jasiyah : 23).
6. Makrifah
Didalam lapangan Ilmu Kalam ada istilah Ulama Kalam membagi makrifah menjadi 3 kategori :
1. Ma’rifah Mubdak, kita mengenal Allah SWT sejak di dalam kandugan
2. Ma’rifah Wasithah, artinya mengenal Allah SWT melalui perantara
3. ma’rifah Ma’ad artinya mengenal Allah SWT melalui pelantara
Makrifah artinya mengenal, mengerti, mengetahui (tindak goyah) yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Berdasarkan dalil aqli maupun naqli sedangkan kepercayaan ragu belum di katakana ma’rifah kepercayaan itu disebut ikut-ikut saja / taqli.
7. Aqidah
1. Pengertian Aqidah
Secara etimologis aqidah bersal dari bahasa Arab yaitu ikatan, sangkutan, secara terminologis aqidah adalah kepercayaan, keyakinan atau keimanan. Jadi, Aqidah adalah kepercayaan kepada sesuatu hakikat tertentu dengan keyakinan yang mutlak yang tidak di undang keraguan dan perdebatan.
a. Khurafat dan Tahayul
Khurafat adalah kepercayaan kepada yang gaib yang tidak bersumberkan pada Al-Qur’an dan hadits. Sedangkan tahayul adalah cerita bohong atau tidak masuk akal yang tidak bersumber dari kitab suci maupun dari akal.
b. Dalil Aqli
Dalil Aqli adalah dalil yang menggunakan akal pikiran untuk merenunkan diri sendiri, alam semesta, dan lain-lainnya. Dalil aqli dikatakan benar apabila pokok pikiran dalam menetapkan sesuatu keputusan dapat diterima, sedangkan utusan itu dapat masuk kedalam perasaan dan bersifat logis yang dapat menimbulkan keyakinan.
c. Dalil Naqli
Yaitu dalil yang berasal dari Al-Quran dan Hadits. Ulama’ Kalam menetapkan dua syarat untuk menetapakan iman yaitu :
1. Qod’I (pasti kebenarannya) maksudnya adalah dalil itu benar-benar datang dari rasul tanpa ada keraguan yang demikian itu hanya terdapat keterangan mutawatir.
2. Pasti (tegas tujuannya) maksudnya dalil aqli itu tidak memiliki makna dua atau lebih, dalil naqli yang pasti tujuannya dapat menetapkan keyakinan yang dapat menumbuhkan aqidah yang kuat.
III. HUBUNGAN IMAN DENGAN IBADAH DAN HUBUNGAN IMAN DENGAN MORAL
1. Hubungan Iman Dengan Ibadah
Ada tiga defenisi tentang ibadah :
a. Ibadah dalam arti al-khudu (tunduk, patuh dan idman) dalam ucapan ataupun perbuatan yang timbul pada sifat ketuhanan atau uluhiyah yang dimiliki oleh siapa yang ditunjukkan khudu kepadanya, jada menadi unsur utama dalam beribadah.
b. Ibadah ialah khudu’ di hadapan yang dipercayai sebagai memiliki sesuatu dari urusan-urusan kemajudan hidup dan mati sipelaku khudu’, sekarang dan yang akan datang, maksudnya seorang abid menyadari statusnya sebagai hamba yang termiliki dan di sisi lain ia merasakan stastus sesuatu sebagai pemilik :
1. Pemilik hakiki adalah Allah SWT pemilik hakiki manusia, karena dialah yang menciptakan dari ketiadaan.
2. Sebutan pemilik diberikan berdasarkan kenyataanya sebagai pemberi rizki, menghidupkan dan mematikan karena itu setiap manusia yang sehat pitrahnya pasti menyadari status sebagai mahluk dan dialah yang memilikik hidup dan mati.
3. Ibadah ialah Khudu’ seseorang yang melihat dirinya tidak bebas dan mandiri sepenuhnya dalam perwujudan dan perbuatannya dihadapan sesuatu.
2. Hubungan Iman dengan Etika
Iman memuat ajaran-ajaran pokok yang bertalian dengan persoalan-persoalan batin beragama, antara lain beriman secara benar kepada Allah, Hari Akhir, Malaikat, Nabi, dan Rasul, Kitab Suci serta Qodha dan Qodhar.
Etika adalah harga diri, nilai, sesuatu ya ung berharga, sesuatu yang layak atau sesuai dengan aturan. Adapun tujuan iman (misi keimanan) bagi mukmin di bidang moral baru bisa tercapai dengan “kemerdekaan” (freedom) karena kemerdekaan memungkinkan manusia untuk melakukan yang seharusnya dia dilakukan, inilah yang dimaksud dengan khalifatullah karena itulah manusia dapat melakukan nilai-nilai etika.
Jelasnya hanya manusia yang bisa merealisasikan nilai-nilai etis manusia memiliki kemerdekaan untuk yang demikian itu disamping itu memiliki pikiran dan wawasan.
IV. SEJARAH MUNCULNYA ILMU KALAM
Sejarah munculnya ilmu kalam berawal sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, timbullah persoalan-persoalan dikalangan umat islam tentang siapakah pengganti Nabi (Khalifatul Rasul) kemudian persoalan itu dapat diatasi setelah dibai’atnyua / diangkatnya Abu Bakar As-Sidiq sebagai khalifah, setelah Abu Bakar wafat kekhalifahan dipimpin Umar Bin Khatab pada masa kepemimpinan Umar Bin Khatab umat islam tampak tegar dan mengalami Ekspansi seperti kejazirah Arabian, palestina, syiria, sebagian wilayah Persia dan Romawi serta Mesir.
Setelah kekhalifahan Umar bin Khatab berakhir maka Utsman Bin Affan menjadi Khalifah, Utsman termasuk dalam golongan Quraisy yang kaya kaum keluarganya terdiri dari orang-orang Aristokrat Mekkah karena pengalaman dagangnya mereka mempunyai pengetahuan Administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin Administrasi daerah-daerah diluar semenanjung arabiah yang bertambah masuk kebawah kekuasaaan islam. Namun karena pada masa kekhalifahan Utsman cenderung kepada nepotisme terjadilah ketidakstabilan dikalangan umat islam dengan banyaknya penentang-penentang yang tidak setuju kepada khalifah Ustman puncaknya tewas terbunuh oleh pemberontak dari Kufah, Basroh dan Mesir.
Setelah Ustman wafat Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat terpilih sebagai khalifah yang keempat tetapi ia segera mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah seperti Thalah, Zubair dan Aisyah peristiwa ini dikenal dengan perang jamal. Tantangan kedua datang dari Muawiyah bin Abi Sufyan yang juga ingin menjadi khalifah dan menuntut kepada ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Ustman. Dari peristiwa-peristiwa tersebut munculah Teologi asal muasal (sejarah munculnya kalam).
V. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM
1. Masalah Pelaku Dosa Besar
A. Mazhab Syi’ah
Dalam masalah politik yaitu terbunuhnya ke-tiga yaitu khalifah ustman bin affan oleh pemberontakkan dari Mesiar yang dipimpin oleh Abu Saudah bin Saba, Ustman tewas dan melahirkan konsep permasalahan apakah tetap beriman atau telah kafir, pelaku pembunuh Ustman itu dan pelaku dosa besar yang keluar dari barisan Ali karena tidak puas dengan hasil administrasi maka mereka keluar dari barisan Ali. Menurut mazhab Syi’ah pelaku dosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam dan murtad maka ia wajib dibumuh.
B. Mazhab Murji’ah
Murji’ah artinya menunda tentang pelaku dosa besar dia di akhirat, pendirinya Abdullah Ibnu Umar (anak Umar bin Khatab), mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni.
C. Mazhab Mu’tazilah
Pendirinya adalah Wasil bin Atok pendapatnya orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mu’min orang semacam ini mengambil dua posisi diantara dua posisi atau tidak masuk surga atau tidak masuk neraka
D. Mazhab Asy’-Ariyah
Mazhab ini pendirinya adalah Hasan Al-Asy Ari (260-324 H), dia menentang pendapat mazhab mu’tazilah menurutnya tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin maka terdapat iman , menurutnya mu’min yang melakukan dosa besar bila wafat tanpa taubat mungkin orang itu diampuni dosanya oleh Allah sehingga diakhirat orang itu langsung masuk surga dan mungkin pula tidak di ampuni mak ia dimasukkan keneraka dulu baru surga. Seperti dalam hadits rosul.
2. Masalah Perbuatan Manusia dan Kaitannya pada Tuhan
Dalam ilmu kalam masalah perbuatan manusia ada dua macam :
A. Khodoriyah
Menurut Khodoriyah menusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatan, Khodoriyah mempunyai paham manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
B. Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari “Jabarah” yang mengandung arti memaksa. Paham ini berpendapat manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya dalam paham ini manusia mutlak terikat dalam kehendak Tuhan.
Senin, 15 Juni 2015
Koperasi dalam Tinjauan Syariah (SHU dan Sistem Pembiayaan)
A. Pengertian Koperasi
Koperasi secara etimologi berasal dari kata cooperation, terdiri dari kata co yang artinya bersama dan operation yang artinya bekerja atau berusaha. Jadi kata cooperation dapat diartikan bekerja bersama-sama atau usaha bersama untuk kepentingan bersama.
Sedangkan secara istilah menurut UU RI tentang Koperasi No.17 tahun
2012, koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para
anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi
dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai
dengan nilai dan prinsip Koperasi.
B. Sejarah Koperasi
Konsep
koperasi pertama kali dikenalkan oleh Robert Owen (1791-1858) di
Inggris. Adapun pembentukan koperasi dalam bentuk modern didirikan oleh
Rochdale pada tanggal 24 Oktober 1844 di Inggris dengan model koperasi
konsumtif. Koperasi tersebut
membuka toko yang menyediakan barang-barang konsumsi sehari-hari,
diusahakan sendiri dan untuk keperluan sendiri. Kemudian seiring dengan
perkembangan koperasi di Inggris, maka dibentuklah ICA (International
Cooperative Alliance) di London pada tahun 1896.
Sedangkan
koperasi pertama di Indonesia didirikan oleh Raden Ngabei
Ariawiriatmaja pada tahun 1895 di Leuwiliang, Jawa Barat. Koperasi
tersebut berbentuk koperasi simpan pinjam, didirikan untuk menolong para
pegawai dengan kemampuan ekonomi terbatas untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dan terlepas dari jeratan bunga pinjaman para rentenir. [1]
C. Tujuan dan Prinsip Koperasi
1. Tujuan Koperasi
Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.
2. Prinsip Koperasi
Menurut UU RI tentang Koperasi No.17 tahun 2012, prinsip koperasi yang meliputi:
a. keanggotaan Koperasi bersifat sukarela dan terbuka;
b. pengawasan oleh Anggota diselenggarakan secara demokratis;
c. Anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi Koperasi;
d. Koperasi merupakan badan usaha swadaya yang otonom, dan independen;
e. Koperasi
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Anggota, Pengawas,
Pengurus, dan karyawannya, serta memberikan informasi kepada masyarakat
tentang jati diri, kegiatan, dan kemanfaatan Koperasi;
f. Koperasi
melayani anggotanya secara prima dan memperkuat Gerakan Koperasi,
dengan bekerja sama melalui jaringan kegiatan pada tingkat lokal,
nasional, regional, dan internasional; dan
g. Koperasi
bekerja untuk pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan dan
masyarakatnya melalui kebijakan yang disepakati oleh Anggota.
D. Jenis-jenis Koperasi[2]
1. Berdasarkan bidang usahanya.
Penggolongan koperasi berdasarkan bidang usahanya mencerminkan jenis jasa yang ditawarkan koperasi kepada pelanggannya.
a. koperasi produksi, yaitu koperasi yang kegiatan utamanya memroses bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi barang.
b. koperasi konsumsi, yaitu koperasi yang berusaha dalam penyediaan barang-barang konsumsi yang dibutuhkan anggotanya.
c. koperasi pemasaran, yaitu koperasi yang dibentuk untuk membantu anggota dalam memasarkan barang-barang yang mereka hasilkan.
d. koperasi simpan pinjam, yaitu koperasi yang bergerak dalam penghimpunan simpanan dari anggota kemudian meminjamkannya kembali kepada anggota yang membutuhkan.
2. Berdasarkan jenis komoditinya
Penggolongan ini didasarkan pada jenis barang dan jasa yang menjadi obyek usaha koperasi.
a. koperasi pertambangan, yaitu koperasi yang melakukan usaha dengan menggali atau memanfaatkan sumber-sumber alam secara langsung tanpa atau dengan sedikit mengubah bentuk dan sifat sumber-sumber alam tersebut.
b. koperasi pertanian, yaitu koperasi yang melakukan usaha dengan komoditi pertanian tertentu.
c. koperasi peternakan, yaitu koperasi yang usahanya berhubungan dengan komoditi peternakan tertentu.
d. koperasi industri dan kerajinan, yaitu koperasi yang melakukan usaha dalam bidang industri atau kerajinan tertentu.
e. koperasi jasa, yaitu koperasi mengkhususkan kegiatannnya dalam memproduksi dan memasarkan kegiatan jasa tertentu.
3. Berdasarkan jenis anggotanya:
a. koperasi karyawan (Kopkar)
b. koperasi pedagang pasar (Koppas)
c. koperasi angkatan darat (Primkopad)
d. koperasi mahasiswa (Kopma)
e. koperasi pondok pesantren (Koppontren)
f. koperasi peranserta wanita (Koperwan)
g. koperasi pramuka (Kopram)
h. koperasi pegawai negeri (KPN)
i. dan sebagainya.
4. Berdasarkan daerah kerjanya
Yang dimaksud dengan daerah kerja adalah luas sempitnya wilayah yang dijangkau oleh suatu badan usaha koperasi dalam melayani kepentingan anggotanya atau dalam melayani masyarakat.
a. koperasi primer, yaitu koperasi yang beranggotakan minimal 20 orang yang biasanya didirikan pada lingkup kesatuan wilayah tertentu.
b. koperasi sekunder, yaitu koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi primer dan minimal terdiri dari 3 koperasi primer.
c. koperasi tersier atau induk koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi sekunder dan berkedudukan di ibukota negara.
E. Struktur Organisasi Koperasi[3]
Struktur Organisasi Koperasi umumnya terdiri dari 3 unsur yaitu :
1. Unsur Perangkat Organisasi Koperasi, terdiri dari;
a. Rapat Anggota
b. Pengurus
c. Pengawas
2. Unsur Dewan Penasehat atau Penasehat.
3. Unsur pelaksana yaitu direktur, manajer dan karyawan.
F. Modal Koperasi
Berdasarkan undang-undang No. 25/1992 pasal 41, bahwa sumber-sumber modal koperasi terdiri dari:
1. Modal sendiri, bersumber dari:
a) Simpanan
pokok anggota, yaitu sejumlah uang yang sama banyaknya, yang wajib
dibayarkan oleh masing-masing anggota kepada koperasi pada saat masuk
menjadi anggota. Simpanan pokok ini sifatnya permanen, artinya tidak
dapat diambil selama yang bersangkutan masih menjadi anggota.
b) Simpanan
wajib, yaitu sejumlah simpanan tertentu yang tidak harus sama
banyaknya, yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada pada periode
tertentu. Simpanan wajib ini tidak dapat diambil selama yang
bersangkutan masih menjadi anggota.
c) Dana
cadangan, yaitu sejumlah dana yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil
usaha (SHU) dan dicadangkan untuk menutup kerugian koperasi bila
diperlukan.
b) Donasi
atau hibah, yaitu sejumlah uang atau barang dengan nilai tertentu yang
disumbangkan oleh pihak ketiga, tanpa ada suatu ikatan atau kewajiban
untuk mengembalikannya.
2. Modal pinjaman, bersumber dari:
a) Anggota, yaitu pinjaman dari anggota ataupun calon anggota koperasi yang bersangkutan.
b) Koperasi
lainnya atau anggotanya, yaitu pinjaman dari koperasi lainnya atau
anggotanya yang didasari dengan perjanjian kerjasama antar koperasi.
c) Bank
dan lembaga keuangan lainnya, yaitu pinjaman dari bank dan lembaga
keuangan lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d) Pemerintah.
e) Penerbitan obligasi, yaitu dana yang diperoleh dari penerbitan obligasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
f) Sumber lain yang sah.
G. SHU atau Sisa Hasil Usaha
SHU
koperasi adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun
buku dikurang dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lain termasuk
pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
SHU
koperasi dibagikan kepada anggota koperasi berdasarkan dari dua
kegiatan ekonomi koperasi yang dilakukan oleh anggota sendiri, yaitu:
1. SHU atas jasa modal Pembagian ini juga sekaligus mencerminkan anggota sebagai pemilik ataupun investor, karena jasa atas modalnya (simpanan) tetap diterima oleh koperasinya sepanjang koperasi terssebut menghasilkan SHU pada tahun buku yang bersangkutan. 2. SHU atas jasa usaha Jasa ini menegaskan bahwa anggota koperasi selain pemilik juga sebagai pemakai atau pelanggan. Secara umum SHU koperasi dibagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pada anggaran dasar / anggaran rumah tangga koperasi sebagai berikut:٠ Cadangan koperasi٠ Jasa anggota٠ Dana pengurus٠ Dana karyawan٠ Dana pendidikan٠ Dana sosial٠ Dana untuk pembangunan lingkungan.
Pada
akhir tahun, keuntungan yang diperoleh koperasi simpan pinjam yang
berasal dari uang administrasi tersebut yang disebut Sisa Hasil Usaha
(SHU) dibagikan kepada anggota koperasi. Adapun jumlah keuntungan yang
diterima oleh masing-masing anggota koperasi diperhitungkan menurut
keseringan anggota yang meminjam uang dari Koperasi. Artinya, anggota
yang paling sering meminjamkan uang dari Koperasi tersebut akan mendapat
bagian paling banyak dari SHU, dan tidak diperhitungkan dari jumlah
simpanannya, karena pada umumnya jumlah simpanan pokok dan simpanan
wajib dari masing-masing anggota adalah sama.
H. Perbedaan Koperasi dengan Bank[4]
I.
Stastus Hukum Koperasi dalam Pandangan Islam
Koperasi merupakan organisasi bisnis atau badan usaha dalam bentuk syirkah (perkongsian),
yang mana setiap anggota bersama-sama menyetor modal awal untuk
mendirikan koperasi yang dijadikan alat bisnis atau usaha oleh para
anggota, kemudian usaha koperasi tersebut dijalankan oleh para anggota
atau terkadang dari non anggota, dan keuntungannya (sisa hasil usaha)
akan dibagikan kepada anggota. Adapun para karyawan yang bekerja (dari anggota ataupun non anggota) di koperasi diberikan gaji dengan prinsip ijarah.
Jika dilihat dari pembentukkan koperasi dan system pembagian hasil keuntungan, secara umum koperasi bisa masuk ke dalam syirkah al-‘aqd, yaitu hubungan kerja sama berdasarkan akad/ kontrak/Kesepakatan. Sedangkan secara khusus koperasi bisa masuk ke dalam syirkah ‘inan, jika modal dan kerja yang diberikan anggota berbeda, atau masuk ke dalam syirkah mufawwadhah jika
modal dan kerja yang diberikan anggota sama porsinya. Dari sini, tidak
ada masalah secara syariah dalam status koperasi. Karena koperasi
sendiri bukanlah objek yang dibebankan hukum taklifi (ليس أهلا لحكم التكليف),
karena hukum taklif hanya berkaitan untuk perbuatan yang dilakukan
seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum syariat), bukan berkaitan
dengan dzat seorang mukallaf.
Namun,
ada beberapa masalah atau isu syariah dalam koperasi terkait pembagian
sisa hasil usaha dan sistem pembiayaan atau peminjaman.
1. Pembagian sisa hasil usaha.
Karena
koperasi adalah sebuah badan usaha berbentuk syirkah dan menggunakan
akad musyarakah, maka pembagian sisa hasil usaha kepada anggota -yang
juga pemilik saham- harus berdasarkan jumlah modal atau simpanan anggota koperasi tersebut. Dalam kitab al-mughni karya imam Ibnu Qudamah al-Hanbaly dijelaskan, …adapun
syirkah ‘inan (kongsi dua orang atau lebih atas harta atau kerja) maka
boleh menentukan keuntungan berdasarkan kadar modal/harta setiap pihak,
boleh juga membagi sama rata keuntungan meski modal masing-masing pihak
berbeda (ada yang besar dan ada yang kecil), begitu juga boleh
menentukan pembagian keuntungan berbeda meski masing-masing pihak
memberikan modal yang sama.[5]
Akan tetapi, Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada pembahasan sisa hasil usaha sebelumnya, bahwa di antara yang masuk dalam penghitungan pembagian hasil usaha kepada anggota selain berdasarkan modal/simpanan anggota adalah berdasarkan jumlah pinjaman anggota atau total transaksi anggota, semakin besar pinjaman atau transaksi dari anggota tersebut akan mempengaruhi besarnya pembagian SHU. Dari sini terlihat jelas ada unsur riba, karena pembagian SHU tidak berdasarkan modal dan jumlah simpanan wajib anggotanya saja, tetapi ditambah dengan jumlah pinjaman anggota. Sebagai contoh: Koperasi Pakeis setelah tutup buku keuangan dalam satu tahun mendapat keuntungan Rp. 10.000.000. Kemudian setelah dikurangi 20% untuk dana cadangan, 20% untuk gaji karyawan, dan 20% untuk dana pengurus, maka sisa 40% atau senilai Rp. 4.000.000 untuk SHU yang akan diberikan kepada seluruh anggota.
Berdasarkan
Rapat Anggota ditetapkan pembagian SHU pada anggota berdasarkan modal
anggota 30% dari SHU, dan berdasarkan transaksi anggota 70% dari SHU.
Modal anggota: 30% x 4.000.000= 1.200.00
Transaksi anggota: 70% x 4.000.000= 2.800.000
Selanjutnya
diketahui total simpanan atau modal seluruh anggota sebesar 6.000.000,
dan total seluruh transaksi anggota dalam satu tahun 12.000.000.
Maka pembagian SHU pada masing-masing atau per/anggota adalah sebagai berikut:
Jika Ahmad mempunyai modal simpanan selama setahun 200.000, dan memiliki total transaksi di koperasi 1.000.000, maka:
SHU atas transaksi Ahmad = 1.000.000 / 12.000.000 X 2.800.000 = Rp. 233.333,33
SHU atas modal/simpanan Ahmad = 200.000 / 6.000.000 x 1.200.000 = Rp. 39.999,99
Dengan demikian makan jumlah SHU yang diterima oleh Ahmad adalah: Rp. 233.333 + Rp. 39.999 = Rp. 273.332,-
Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa keuntungan dari SHU yang dibagikan kepada anggota dihitung berdasarkan modal/simpanan anggota dan berdasarkan transaksi anggota. Maka pembagian keuntungan SHU berdasarkan transaksi (pinjaman atau pemakaian) anggota merupakan tambahan atas pinjaman , dan setiap tambahan dari pinjaman dinamakan riba. Adapun keuntungan berdasarkan modal/simpanan anggota maka hukumnya adalah boleh.
Dan
jika ada yang beragumen, bahwa para ulama membolehkan pembagian
keuntungan yang berbeda jika ada ‘amal atau kerja dari salah satu
anggota (syarik) sehingga ia boleh mendapatkan keuntungan lebih besar di samping berdasarkan modal. Maka penulis menjawab
bahwa keuntungan kerja harus dipisah dari total keuntungan yang akan
diberikan kepada anggota berdasarkan modal. Karena keuntungan atas kerja
dinamakan upah atau ujrah. Dengan begitu upah tersebut harus diberikan
sebelum SHU diberikan kepada masing-masing anggota, sehingga SHU yang
diberikan kepada anggota hanya berdasarkan porsi modal dan simpanan
anggota.
2. Sistem peminjaman.
Khusus
koperasi yang melayani simpan dan peminjaman, biasanya anggota
dibebankan infaq 1% untuk setiap kali peminjaman dari uang yang dipinjam
anggota, sedangkan non anggota yang meminjam akan dibebankan infaq
lebih besar dari anggota misalnya 5%. Untuk infaq wajib 1% yang wajib
dibayar setiap kali peminjaman, maka ini sangat jelas merupakan riba qard. Penamaan
dengan infaq tidak mengubah subtansi atau hakikat dari transaksi
tersebut. Begitu juga dengan infaq yang dibebankan pada peminjam non
anggota, merupakan riba qard yang
diharamkan secara syariah. Adapun dakwaan orang yang membolehkan
pengambilan bunga yang kecil adalah batil, karena riba sedikit atau
banyak hukumnya adalah haram.
Dari
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa koperasi pada asalnya
tidak haram, adapun yang diharamkan adalah aktifitas dan transaksi pada
system pembagian SHU dan system bunga dari peminjaman. Karena hukum itu
berkaitan dengan aktifitas mukallaf. Dengan begitu, berinteraksi dengan koperasi yang menggunakan system yang diharamkan syariah hukumnya adalah haram.
Adapun solusi dari penulis agar aktifitas koperasi menjadi halal dan terhindar dari unsur riba, adalah sebagai berikut:
Cara Pertama :
Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan
jumlah simpanan atau modal uang yang ditabung ke koperasi tersebut.
Pinjaman atau konsumsi anggota pada koperasi tidak dapat disebut sebuah
kerja/usaha anggota sehingga berhak menerima pembagian keuntungan lebih
dari SHU.
Cara Kedua :
Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan
untuk keperluan konsumtif dengan akad murabahah, koperasi membeli
barang kemudian dijual ditambah margin kepada nasabah koperasi. Dan jika
anggota memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa
menerapkan akad mudharabah atau sistem bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Wallahu a’lam.
Penutup
Pada
dasar dan prinsipnya, koperasi memiliki tujuan mulia agar rakyat
terhindar dari jeratan riba yang berlipat dari para rentenir. Karena
memang terbukti koperasi mampu mensejahterakan rakyat dengan kemampuan
ekonomi terbatas. Koperasi merupakan gerakan ekonomi kerakyatan yang
perlu didorong dan dikembangkan. Namun secara syariah, masih ada aspek
kegiatan koperasi yang menyalahi aturan syariah sebagaimana yang telah
diterangkan. Karena itu perlu dibuat ketentuan-ketentuan pada koperasi
agar sesuai dengan standar syariah. Dengan begitu, rakyat tidak hanya
merasakankesejahteraan, tapi juga mendapatkan keberkahan.
|
G. al seluruh anggota sebesar 6.000.000,
dan total seluruh transaksi anggota dalam satu tahun 12.000.000.
Maka pembagian SHU pada masing-masing atau per/anggota adalah sebagai berikut:
Jika Ahmad mempunyai modal simpanan selama setahun 200.000, dan memiliki total transaksi di koperasi 1.000.000, maka:
SHU atas transaksi Ahmad = 1.000.000 / 12.000.000 X 2.800.000 = Rp. 233.333,33
SHU atas modal/simpanan Ahmad = 200.000 / 6.000.000 x 1.200.000 = Rp. 39.999,99
Dengan demikian makan jumlah SHU yang diterima oleh Ahmad adalah: Rp. 233.333 + Rp. 39.999 = Rp. 273.332,-
Dari contoh di atas, terlihat jelas bahwa keuntungan dari SHU yang dibagikan kepada anggota dihitung berdasarkan modal/simpanan anggota dan berdasarkan transaksi anggota. Maka pembagian keuntungan SHU berdasarkan transaksi (pinjaman atau pemakaian) anggota merupakan tambahan atas pinjaman , dan setiap tambahan dari pinjaman dinamakan riba. Adapun keuntungan berdasarkan modal/simpanan anggota maka hukumnya adalah boleh.
Dan
jika ada yang beragumen, bahwa para ulama membolehkan pembagian
keuntungan yang berbeda jika ada ‘amal atau kerja dari salah satu
anggota (syarik) sehingga ia boleh mendapatkan keuntungan lebih besar di samping berdasarkan modal. Maka penulis menjawab
bahwa keuntungan kerja harus dipisah dari total keuntungan yang akan
diberikan kepada anggota berdasarkan modal. Karena keuntungan atas kerja
dinamakan upah atau ujrah. Dengan begitu upah tersebut harus diberikan
sebelum SHU diberikan kepada masing-masing anggota, sehingga SHU yang
diberikan kepada anggota hanya berdasarkan porsi modal dan simpanan
anggota.
2. Sistem peminjaman.
Khusus
koperasi yang melayani simpan dan peminjaman, biasanya anggota
dibebankan infaq 1% untuk setiap kali peminjaman dari uang yang dipinjam
anggota, sedangkan non anggota yang meminjam akan dibebankan infaq
lebih besar dari anggota misalnya 5%. Untuk infaq wajib 1% yang wajib
dibayar setiap kali peminjaman, maka ini sangat jelas merupakan riba qard. Penamaan
dengan infaq tidak mengubah subtansi atau hakikat dari transaksi
tersebut. Begitu juga dengan infaq yang dibebankan pada peminjam non
anggota, merupakan riba qard yang
diharamkan secara syariah. Adapun dakwaan orang yang membolehkan
pengambilan bunga yang kecil adalah batil, karena riba sedikit atau
banyak hukumnya adalah haram.
Dari
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa koperasi pada asalnya
tidak haram, adapun yang diharamkan adalah aktifitas dan transaksi pada
system pembagian SHU dan system bunga dari peminjaman. Karena hukum itu
berkaitan dengan aktifitas mukallaf. Dengan begitu, berinteraksi dengan koperasi yang menggunakan system yang diharamkan syariah hukumnya adalah haram.
Adapun solusi dari penulis agar aktifitas koperasi menjadi halal dan terhindar dari unsur riba, adalah sebagai berikut:
Cara Pertama :
Keuntungan dari hasil penjualan dibagi kepada para anggota berdasarkan
jumlah simpanan atau modal uang yang ditabung ke koperasi tersebut.
Pinjaman atau konsumsi anggota pada koperasi tidak dapat disebut sebuah
kerja/usaha anggota sehingga berhak menerima pembagian keuntungan lebih
dari SHU.
Cara Kedua :
Koperasi ini juga bisa meminjamkan uang kepada anggota yang membutuhkan
untuk keperluan konsumtif dengan akad murabahah, koperasi membeli
barang kemudian dijual ditambah margin kepada nasabah koperasi. Dan jika
anggota memerlukan uang untuk keperluan usaha, maka koperasi bisa
menerapkan akad mudharabah atau sistem bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Wallahu a’lam.
Penutup
Pada
dasar dan prinsipnya, koperasi memiliki tujuan mulia agar rakyat
terhindar dari jeratan riba yang berlipat dari para rentenir. Karena
memang terbukti koperasi mampu mensejahterakan rakyat dengan kemampuan
ekonomi terbatas. Koperasi merupakan gerakan ekonomi kerakyatan yang
perlu didorong dan dikembangkan. Namun secara syariah, masih ada aspek
kegiatan koperasi yang menyalahi aturan syariah sebagaimana yang telah
diterangkan. Karena itu perlu dibuat ketentuan-ketentuan pada koperasi
agar sesuai dengan standar syariah. Dengan begitu, rakyat tidak hanya
merasakankesejahteraan, tapi juga mendapatkan keberkahan.
Langganan:
Postingan (Atom)